Menjadi Sang Pionir

|0 komentar
Pada suatu hari, di tengah-tengah sahabatnya, Rasulallah menceritakan bahwa beliau pernah ditampakkan kepadanya beberapa umat terdahulu. Di antara umat-umat terdahulu tersebut Ada seorang nabi atau dua orang nabi yang berjalan dengan diikuti oleh 3 sampai 9 orang pengikutnya. Ada pula seorang nabi yang tidak punya pengikut seorangpun. Sampai akhirnya ditampakkan kepada Rasulallah segolongan besar manusia. Rasul pun bertanya, “Apakah ini ummatku wahai Jibril?”
Jibril pun menjawab, “Ini adalah Musa dan kaumnya wahai Muhammad.”

Memaknai Fitrah di Hari yang Fitri

|0 komentar
Moment lebaran adalah moment yang membahagiakan dan sangat ditunggu-tunggu oleh setiap orang. Berbeda kalangan, maka berbeda pula alasan kebahagiaan mereka dalam menyambut hari raya yang satu ini. Bagi orang-orang yang tidak suka puasa, moment ini berarti saatnya menyantap hidangan ketupat dan beraneka ragam kue. Bagi yang tidak suka shalat malam, moment ini berarti kebebasan dari kegiatan berdiri berlama-lama mendengarkan bacaan imam sambil ngantuk-ngantukan. Bagi pedagang mainan anak-anak, moment ini berarti meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Bagi yang jarang pulang kampung, moment ini berarti mudik dan kumpul keluarga. Dan begitulah seterusnya, setiap orang, memiliki kesan tersendiri terhadap hari Idul Fitri. Tapi manakah yang benar?

Ketika mendengar kata ‘Fitrah’ yang langsung terbayang dalam benak fikiran kita adalah kata suci. Kata ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kata suci. Karena secara bahasa, fitrah (fithrah) berasal dari kata fathara–yafthuru–fathr[an] wa futhr[an] wa fithrat[an] yang berarti pecah, belah, terbuka dan mencipta. Namun kata al-fithr artinya ciptaan. Dari kata ciptaan ini lah dapat disimpulkan kata suci. Karena pada awal penciptaannya, manusia adalah makhluk yang bebas dari dosa dan kesalahan. Hal ini sebagaimana terkandung dalam sebuah hadits Nabi:

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad, Malik).

Ringkasnya, Idul Fitri berarti kembali kepada kesucian, yaitu kondisi ketika manusia pertama kali dilahirkan. Tidak membawa dosa dan kesalahan. Makna Idul Fitri semacam ini hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan kepada Allah seraya mengintrospeksi dirinya. Karena Allah swt menjanjikan pengampunan dosa bagi mereka. Rasulallah pernah bersabda:

“Barang siapa yang menjalankan ibadah puasa dengan penuh keimanan seraya mengintrospeksi dirinya maka Allah akan memaafkan dosanya yang telah lalu.”

Lalu apakah makna idul fitri ini hanya sebatas kembalinya kita dalam kondisi bebas dari dosa,? Jika kita memahami fitrah hanya sebatas pada kesucian diri dari dosa, maka pada bulan-bulan yang lain, tidak ada jaminan kita terbebas dari dosa, karena kondisi seperti ini hanya akan menjadi garis start yang aman untuk mengejar dosa-dosa yang baru.

Jika kita melihat lebih dalam terhadap kata fitrah, kata ini berarti kondisi manusia yang selalu cenderung pada kebaikan. Salah satu buktinya, jika seseorang ditanya, apakah anda ingin masuk surga atau neraka? Jawabannya tentu surga. Apakah anda ingin baik atau jahat? Pasti jawabannya ingin baik. Begitu juga dengan hal-hal yang berbau duniawi. Apakah anda ingin kaya atau miskin? Pasti ingin kaya. Pintar atau bodoh? Pasti ingin pintar dan seterusnya.

Inilah sebagian dari makna fitrah. Manusia suka dan cenderung kepada kebaikan. Yang menjadi pertanyaannya, apakah kita sudah maksimal untuk meraih makna fitrah tersebut? Apakah kita sudah maksimal untuk meraih surga Allah? Apakah kita sudah maksimal untuk menjadi baik, menjadi kaya dan pintar? Atau hanya sekedar mau tapi tanpa usaha?

Kenyataan yang sering terjadi, kita ingin masuk surga, namun malas beribadah, malas sedekah, malas puasa, dan gemar melakukan dosa. Kita ingin menjadi baik, namun akhlak kita kasar, omongan kita menyakitkan, tindakan kita sering melukai, sama tetangga tidak pernah akur, sesama rekan bisnis saling menjatuhkan. Kita ingin kaya, namun malas usaha, segan bersilaturahmi dan menjalin relasi, takut gagal, ngak pede. Kita ingin pintar, tapi malas membaca, ga punya catatan, apalagi mau ke perpustakaan.

Allah swt telah menitipkan kepada kita semua makna fitrah tersebut. Semua kembali kepada diri pribadi untuk meraihnya. Di balik itu semua, harus ada usaha. Dan di balik itu juga ada kemenangan yang dijanjikan Allah, 'minal a'idin wal fa izin'. Semoga kita semua menjadi hamba-hamba Allah yang selalu mendengarkan bisikan fitrah, dan selalu berusaha untuk meraihnya.

“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS ar-Rum: 30).

Mencintai Karena Allah

|0 komentar
Sebuah rasa cinta lahir dan tumbuh di atas sebuah pondasi yang melatar-belakanginya. Kekuatan cinta tersebut, tentu tergantung dari kekuatan pondasinya. Cinta yang didasarkan atas keindahan dan kecantikan semata, tidak akan bertahan lama. Karena kecantikan dan keindahan akan sirna seiring dengan bertambahnya usia. Kecintaan yang lahir karena harta dan kekayaan akan mudah hilang. Ketika hartanya habis, habis pula cintanya. Begitulah seterusnya. Kecintaan yang dibangun di atas pondasi yang lemah akan mudah hilang.

Berbeda dengan rasa cinta yang dibangun karena Allah. Cinta tersebut akan kekal selamanya. Karena yang mendasari cinta itu adalah Allah yang kekal abadi. Cinta karena Allah tidak akan sirna dengan sirnanya kecantikan sang istri, dia juga tidak akan habis dengan habisnya harta sang suami.

Cinta kepada Allah juga merupakan bentuk cinta yang suci. Cinta yang tidak membabi-buta. Karena cinta karena Allah dipandu oleh aturan-aturan yang telah dibuat oleh Allah. Seorang ayah yang sangat mencintai anaknya, tentu dia akan membela anaknya dengan sepenuh tenaga, rela mempertaruhkan nyawa demi anak tercinta. Namun ketika anak itu melanggar aturan Allah, walaupun cintanya sang ayah kepada anaknya, sang ayah tidak boleh membenarkan perbuatan anak tersebut. Inilah cinta seorang ayah kepada anaknya yang dibangun atas cintanya kepada Allah.

Terkadang kita menemukan seorang bapak yang mendasari cintanya kepada anak hanya karena dasar keduniaan. Sehingga banyak orang tua yang melakukan korupsi hanya karena anaknya ingin dibelikan motor. Rasa cinta ini hanya akan bertahan paling maksimal di dunia. Karena ketika masuk alam akhirat, mereka yang saling mencitai bukan karena Allah, akan saling salah-menyalahkan.

Mencintai karena Allah juga mengandung pengertian bahwa persahabatan keduanya dilakukan karena Allah. Jika salah satu dari mereka berpaling dari tujuan persahabatan yang sebenarnya (mencari ridha Allah), maka dia akan meninggalkannya. (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Fathul Bari : Syarh Shahih Al-Bukhari).

Selain mendapat naungan di sisi Allah pada hari kiamat nanti, orang-orang yang saling mencintai karena Allah juga memiliki kedudukan yang luar biasa di akhirat nanti. Dalam hal ini Rasulallah pernah bersabda:
عن معاذ رضي الله عنه قَالَ : سَمِعْتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم، يقول: قَالَ الله عز وجل: المُتَحَابُّونَ في جَلالِي، لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ. رواه الترمذي

Dari Mu’az RA, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulallah bersabda: “Allah swt berkata, ‘orang-orang yang saling mencintai karena keagunganku, mereka memiliki mimbar dari cahaya, para nabi dan syuhada’ pun iri terhadapa mereka. (HR. At Tirmidzi).

Tobat dan Kegembiraan Allah

|0 komentar
Banyak orang yang bangga dan senang jika lolos dari pengadilan manusia, lolos dari hukuman atas kejahatan yang telah dia lakukan. Sebaliknya, jarang sekali bahkan hampir tidak ada orang yang senang dan bahagia mengakui kenistaan dan kejahatannya di depan pengadilan. “Penjara akan penuh jika orang mengaku maling”, begitu lah istilah yang sering dikampanyekan oleh orang-orang yang masih mau berlama-lama dalam keburukan.

Setiap manusia boleh salah dalam melangkah. Setiap manusia boleh khilaf dalam berucap. Karena kaki tidak selamanya berjalan di atas tanah yang kering, terkadang tergelincir di genangan air atau tersalah menendang batu hingga berdarah.

Namun lagi-lagi sifat manusia, merasa sedih bila kejahatannya terbongkar, padahal kesalahan dan kejahatan yang membuat dia bersedih adalah karena ulah perbuatannya sendiri. Tidak perlu bersedih!!... Yang patut disedihkan adalah apabila kita tidak mau mengakui kesalahan dan tidak mau menyesalkan kesalahan yang pernah kita lakukan.

Mengapa harus bersedih? Tidak ada orang yang marah bila seorang penjahat mengakui kesalahannya dengan penuh kesadaran. Tanpa harus diinterogasi dan ditanya depan-belakang. Bahkan pak polisi akan senang karena dimudahkan dalam melakukan proses penangkapan. Begitu juga dengan pak hakim dan pak jaksa akan mudah melaksanakan tugasnya. Dan tentunya, hukuman akan sedikit dikurangi dengan alasan berkelakuan baik selama dalam masa persidangan.Begitu juga dengan Allah, Dia sangat bahagia dan senang mendengarkan ratapan hambaNya yang mengakui kesalahan.

Dalam sebuah haditsnya, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, rasulallah SAW pernah menceritakan bahwa Allah SWT sangat gembira dengan tobat seorang hamba dari dosa yang dia lakukan.

Rasulallah menggambarkan bahwa kebahagiaan Allah terhadap tobat hambanya lebih dari bahagianya seorang hamba yang mendapati ontanya yang hilang di padang pasir.

Dulu ada seorang musafir yang melakukan perjalanan jauh dengan seekor onta melewati gurun pasir yang sangat luas dan panas. Sangking jauhnya perjalanan, sang musafir merasakan kelelahan yang luar biasa hingga dia jatuh dari ontanya dan pingsan.

Begitu sadar, sang musafir tidak menemukan ontanya. Betapa sedihnya hati sang musafir. Mengapa tidak, karena onta itu lah satu-satunya kendaraan yang dia pergunakan untuk sampai ke tujuan. Lebih-lebih lagi, di atas onta itu lah seluruh perbekalan yang dia bawa. Kesedihan itu semakin sempurna, ketika dia membayangkan bahwa kehidupannya akan berakhir di tengah-tengah gurun pasir yang panas.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, sang musafir sambil terhuyung-huyung mencari ontanya mengikuti kemana kaki melangkah sambil tak henti-henti mulutnya meminta kepada Allah agar dia menemukan ontanya kembali.

Sekian lama dia mencari namun onta tersebut tidak juga didapatkan. Tenaganya semakin melemah, kepalanya berkunang-kunang, sang musafir mulai berputus asa. “Benar, tampaknya aku akan mati di sini”. Gumam sang musafir.

Di tengah-tengah keputus-asaan, tiba-tiba di depannya sudah berdiri dengan tegap onta yang selama ini dia cari. Sang musafir mengusap-usap matanya tidak percaya, barang kali ini hanya lah sekedar fatamorgana yang sering dilihat oleh para musafir di tengah gurun pasir. Dia masih tidak yakin, maka disentunya onta tersebut. Dan benar sekali, onta tersebut bukan lah fatamorgana. Itu adalah ontanya yang hilang tadi.

Dengan kegembiraan yang meluap-luap, sang musafir berkata dengan suara lantang, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku, dan aku adalah tuhanMu”.

Setelah menceritakan cerita ini, rasulallah mengatakan, “musafir itu salah (berkata) karena sangking bahagianya”.

Sangking bahagianya musafir itu tidak sadar kalau dia telah menggantikan kalimat yang semestinya ‘aku adalah hambaMu’ dengan kalimat ‘aku adalah tuhanMu’ dan menggantikan kalimat ‘aku adalah hambamu’ dengan kalimat ‘aku adalah tuhanMu’.

Dapat kita bayangkan betapa besarnya kebahagiaan sang musafir ketika mendapatkan kembali ontanya yang hilang. Karena dia tidak jadi mati kelaparan dan kepanasan di padang pasir. Namun, betapa besarnya kebahagiaan sang musafir yang mendapatkan ontanya kembali, kebahagiaan Allah terhadap tobat hambanya lebih besar bahkan tidak ada yang menandingi kebahagiaanNya.

Begitu juga halnya, ketika pak polisi, pak hakim dan pak jaksa begitu senangnya dengan seorang penjahat yang mengakui kejahatannya, Allah SWT, Zat Yang Maha melihat akan perbuatan kita, lebih besar kebahagianNya, bahkan tidak ada yang menandingi kebahagiaanNya terhadap seorang hamba yang mengakui kesalahan dan kejahatannya karena ingin bertobat dari kesalahan dan kejahatan tersebut.

Lebih baik Allah gembira dengan terbukanya kejahatan kita di hadapan pengadilan manusia, daripada Allah murka dengan penampilan kita sebagai orang yang tidak bersalah di hadapan manusia namun tertunduk malu dan hina di depan pengadilan Allah.

Mengingat Nikmat Allah, Menjauhkan Diri dari Dosa

|0 komentar
Banyak jalan untuk menuju surga Allah, dan tidak sedikit pula cara untuk mendekatkan diri kepadanya. Salah satu di antara sekian banyak cara itu adalah dengan mengingat sumber rizki dan segala karunia yang kita rasakan. Mari kita bertanya kepada hati kecil kita masing-masing, siapa kah pemberi rizki yang selama ini kita nikmati? Secara jujur, tentunya kita akan menjawab, bahwa rizki dan karunia itu semuanya datang dari Allah Yang Maha Kaya dan Maha Pemberi Rizki. Dengan mengingat bahwa rizki itu dari Allah, maka akan muncul rasa malu untuk berbuat kesalahan. Betapa tidak layaknya, ketika Allah selalu berbuat baik kepada kita, sedangkan kita selalu melanggar aturanNya.
Sebenarnya, Allah tidak butuh dengan ibadah kita, Allah tidak butuh dengan shalat kita, puasa kita, zakat kita, haji kita dan segala amal ibadah kita. Bahkan Allah juga tidak butuh dengan ucapan syukur kita. Mengapa? … Allah Maha Kaya, Dia yang memiliki segalanya. Bahkan, sebenarnya kita lah yang butuh kepada Allah, kita lah yang butuh untuk melakukan shalat, melaksanakan puasa, mengeluarkan zakat dan melaksanakan haji dan semua ibadah-ibadah yang lainnya. Kita lah yang butuh untuk bersyukur kepadaNya. Karena Ibadah kita secara umum adalah bekal yang akan kita bawa untuk perjalanan kita menuju jannah Allah.
Namun walau pun demikian, bukan berarti kita bebas untuk tidak melakukan kewajiban dan bebas melakukan kesalahan. Di mana letak rasa keadilan kita dan di mana letak kewarasan kita, jika seseorang selalu berbuat baik kepada kita sedangkan kita tidak pernah berbuat baik kepadanya, bahkan kita balas dengan lemparan kotoran dan caci maki. Secara akal, orang yang bertindak demikian bisa dikatakan sebagai orang yang berpenyakit jiwa.
Mari kita belajar untuk menjauhi perbuatan dosa dengan menyimak pesan yang tersirat dalam percakapan antara Ibrahim bin Adham dan seorang laki-laki yang sering melakukan dosa.
Suatu ketika seorang laki-laki datang kepada Ibrahim bin Adham, lalu berkata, “ Aku adalah seorang hamba yang banyak berbuat dosa, karena itu, tolong nasehati aku”. Lalu Ibrahim menjawab, “Jika kamu berbuat kejahatan, dosa dan maksiat, maka janganlah kamu tinggal di bumi dan makan dari rizki Allah SWT”. Orang itu menjawab, “Kalau begitu, di mana aku harus tinggal dan dari mana aku makan? Semua yang ada di bumi ini adalah pemberian Allah SWT”. Ibrahim berkata, “Kalau begitu, pantaskah kamu berbuat maksiat kepada Allah sedangkan kamu hidup di bumiNya dan makan dari rizkiNya?”
Seorang hamba yang beriman, sejatinya akan selalu takut untuk melakukan perbuatan dosa, hatinya akan bergetar dan seketika merasa lemah ketika dihadapkan pada peluang untuk berbuat jahat. Dalam hal ini, Abu Atahiyah pernah memberikan sebuah tamsil yang patut kita jadikan guru dalam kehidupan, dia berkata “Sesungguhnya orang mukmin ketika melihat dosa-dosanya seakan-akan dia tersesat masuk ke dalam rimba belantara yang penuh dengan binatang buas, sehingga dia merasakan ketakutan yang luar biasa.”
Lain halnya dengan orang-orang yang kurang keimanannya kepada Allah, dosa dan maksiat adalah hal yang lazim dilakukan, tidak ada lagi terbersit di dalam hatinya perasaan bersalah ketika melakukan dosa, bahkan dia akan selalu mencari peluang melakukan dosa dan kesalahan. Abu Atahiyah kemudian melanjutkan tamsilnya, “Adapun orang-orang yang senang melakukan perbuatan maksiat, dosa dan durhaka kepada Allah, bagaikan seekor serigala lapar di padang pasir yang mencium bau bangkai.”
Ini lah kesalahan besar yang sering kita lakukan. Kita terkadang dengan mudahnya mempermainkan hukum Allah SWT, meremehkan ajaran islam, bangga dengan kejahatan, dan melakukan dosa dan kemaksiatan siang dan malam tanpa merasa malu kepada Yang Memberi Rizki.
Jika konsep ini kita bawa dan kita terapkan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air, maka pastilah kita akan menjadi Negara yang paling bersyukur dan taat kepada Allah. Karena betapa besarnya karunia Allah di bumi pertiwi ini, betapa Negara ini diberikan kesuburan tanah yang tiada bandingnya, kekayaan alam yang berlimpah, hasil tambang yang beraneka ragam dan kekayaan laut yang setiap hari diambil tidak ada habis-habisnya. Patut kah kita melakukan dosa di negeri ini, sedangkan Allah telah memberi kita karunia yang tiada terhingga? Mudah-mudahan kita semua tidak mau dikatakan sebagai orang yang berpenyakit jiwa.