Hukum Hadiah dan Gratifikasi

|0 komentar
Pada dasarnya pemberian hadiah merupakan suatu hal yang diperbolehkan dalam Islam. Bahkan Islam mengatakan bahwa dengan saling memberikan hadiah akan tercipta rasa kasih sayang di antara mereka. Tentunya pemberian hadiah yang dapat memupuk rasa kasih sayang itu merupakan pemberian hadiah yang muncul dari hati nurani yang tulus dan ikhlas, hanya semata-mata mengharapkan ridho dari Allah swt.

Namun dalam perkembangannya dan realitas yang terjadi, hadiah terkadang menjadi alat untuk tujuan-tujuan tertentu, sebagai media pendekatan untuk mendapatkan keuntungan dan keselamatan. Di antara bentuk hadiah yang dimaksudkan adalah hadiah yang diberikan kepada pegawai abdi negara. 

KAJIAN LITERATUR KITAB FUNUN AL-AFNAN FI ‘AJA’IBI ULUM AL-QUR’AN KARANGAN IMAM IBNU AL-JAUZI

Biografi Imam Ibnu Al-Jauzi

Namanya adalah Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ali Al-Qurasyi At-Taimi Al-Bakri Al-Bagdadi Al-Hambali[1]. Nasab Imam Ibnu Al-Jauzi sampai kepada Khalifah Ar-Rasyidin yang pertama Abu Bakar Radhiallahu 'anhu. Beliau diberi gelar Ibnu Al-Jauzi dinisbatkan kepada kakeknya yang ke tujuh yang bernama Ja'far. Kakeknya tersebut terkenal dengan sebutan Ibnul Jauzi (anak kelapa), karena kelapa yang ia miliki di Wasith, di mana di sana sama sekali tidak ada kelapa selain milik beliau.

Ibnu Al-Jauzi hidup pada zaman kerajaan Abasiyah (132 – 656H). Beliau lahir pada awal abad ke enam hijriyah tepatnya pada tahun 510 H. Ayahnya meninggal ketika beliau berumur tiga tahun, lalu beliau diasuh oleh bibinya (dari pihak ayah). Ketika beliau mulai tumbuh, bibinya membawa beliau kepada al-Hafizh Ibnu Nashir, lalu beliau belajar kepadanya dan menghasilkan ilmu dalam memberikan wejangan yang tidak dihasilkan oleh seorang pun selainnya, bahkan diceritakan bahwa sebagian majelisnya dihadiri oleh lebih dari 100.000 orang.

Ibnul Jauzi menulis buku 2.000 jilid dengan tulisan tangan beliau, 100.000 orang telah bertaubat dengan perantaraannya dan 20.000 orang masuk Islam dengan perantaraannya pula.

Ibnul Jauzi rahimahullah memiliki perawakan yang lembut, tabiat yang manis, suara yang merdu dan gerakan yang teratur, beliau tidak pernah menyia-nyiakan waktu sedikit pun, sehingga beliau dapat menulis empat buku tulis setiap hari.

Beliau memiliki peran dalam semua bidang ilmu, beliau adalah seorang yang sangat menonjol dalam bidang tafsir, memiliki gelar al-Hafizh dalam bidang hadits, termasuk ulama yang sangat luas dalam bidang sejarah, bahkan beliau memiliki satu buku dalam bidang kedokteran yang diberi nama “Kitab al-Luqath”.

Beliau wafat pada tahun 597 H, mendekati 90 tahun dari usianya dan dimakamkan di pemakaman Bab Harb. Semoga Allah Ta’ala merahmatinya, amin.

Karya-karyanya

Ibnu Al-Jauzi terkenal sebagai ulama yang kreatif dalam menulis. Beliau memiliki sejumlah buku dalam berbagai bidang keilmuan. Di antara buku-buku karyanya tersebut adalah:
1.Akhbâr Adz-Zharrâf wa Al-Mutamâjinîn (أخبار الظراف والمتماجنين)
2.Akhbâr An-Nisâ (أخبار النساء)
3.A’mâru Al-A’yân (أعمار الأعيان)
4.Bustân Al-Wâ’izin (بستان الواعظين)
5.Talbîs Iblîs (تلبيس إبليس)
6.Talqîh Fuhūm Ahli Al-Atsar Fi ‘Uyūn At-Târikh wa As-Siyar (تلقيح فهوم أهل الأثر في عيون التاريح والسير)
7.Târîkh Bait Al-Maqdis (تاريخ بيت المقدس)
8.Tuhfah Al-Maudūd fi Ahkâm Al-Walūd (تحفة المودود في أحكام الولود)
9.As-Tsabat ‘inda Al-Mamat (الثبات عند الممات)
10.Al-Jalîs As-Shâlih wa Al-Anîs An-Nâshih (الجليس الصالح والأنيس الناصح)
11.Husnus Sulūk fi Mawâ’iz Al-mulūk (حسن السلوك في مواغظ الملوك)
12.Dzammul Hawâ (ذم الهوى)
13.Sirah Umar bin Abdul Aziz (سيرة عمر بن عبد العزيز)
14.Shafwah As-Shafwah (صفوة الصفوة)
15.Shaidul Khatir (صيد الخاطر)

Ada pun karya beliau dalam bidang ‘Ulum Al-Qur’an adalah:
1. Zad Al-Masir fi ‘Ilmi At-Tafsir (زاد المسير في علم التفسير)
2. Funun Al-Afnan fi ‘Ulum Al-Qur’an (فنون الأفنان في علوم القرآن)

Latar Belakang Penulisan Kitab Funun Al-Afnan[2]

Hal yang melatar belakangi Ibnu Al-Jauzi dalam penulisan buku Funun Al-Afnan fi Ulum Al-Qur'an adalah kesadaran beliau terhadap keutamaan ilmu Al-Qur'an dari ilmu-ilmu yang lainnya. Hal ini disimpulkan dari perkataan Al-Jauzi sendiri dalam muqaddimah singkat bukunya, dimana dia berkata, "Ketika aku selesai mengarang kitab At-Talqih fi Gharaib Ulum Al-Hadits" kemudian aku berfikir bahwa mengarang kitab tentang keajaiban ilmu Al-Qur'an lebih utama, maka aku meminta taufiq kepada Allah sebelum memulai untuk menulis kitab tersebut..."
Referensi dalam Penulisan Kitab Funun Al-Afnan[3]

Dalam penulisan kitab ini Imam Ibnu Al-Jauzi merujuk pada buku-buku klasik yang merupakan karangan imam-imam terdahulu. Seperti Imam Al-Hafidz Ibnu Hibban, Imam Ibnu Jarir At-Thabari, Abu Bakar Muhammad Ibnu Al-Qasim Al-Anbari, Abu Al-Hasan Ahmad bin Ja'far.

Isi dan Kandungan Kitab Funun Al-Afnan

Nubzah min fadhail Al-Qur'an (نبذة من فضائل القرآن), Anna Al-Qur'an Ghairu Makhluq (أن القرآن غير مخلوق), Nuzul Al-Qur'an 'Ala Sab'ati Ahruf (نزول القرآن على سبعة أحرف), Kitabah Al-Mushaf wa hijaaihi (كتابة المصحف وهجائه), 'Adadu Suwar Al-Qur'an wa Ayatihi wa Kalimatihi wa Hurufihi wa Nuqatihi (عدد سور القرآن وآياته وكلماته وحروفه ونقطه), Dzikru Ajzail Qur'an (ذكر أجزاء القرآن), 'Adad Ayat As Suwar (عدد آيات السور), Bayan As-Suwar Al-Makiyyah min Al-Madaniyyah (بيان السور المكية من المدنية), Dzikru Al-Lughat Fi Al-Qur'an (ذكر اللغات في القرآن), Adab Al-Waqfu wa Al-Ibtida (آداب الوقف والابتداء), Fi Tafsir An-nasakh, Al-Muhkam wa Al-Mutasyabih (في تفسير النسخ، المحكم والمتشابه), Min Musykil ma fi Al-Qur'an minhu harfun wahidun (من مشكل ما في القرآن منه حرف واحد), Min Al-Mutasyabih (من المتشابه), Ibdal Kalimah bikalimah au Harf biharf min Al-Mutasyabih (إبدال كلمة بكلمة أو حرف بحرف من المتشابه), Al-Huruf Az-Zawa-id wa An-Nawaqish min Al-Mutasyabih (الحروف الزوائد والنواقص من المتشابه), Al-Mufrad min Al-Mutasyabih (المفرد من المتشابه), Bab fihi masail ya'ya biha fi Al-Mutasyabih (باب فيه مسائل يعايا بها في المتشابه), Bab Dziru Al-Awshaf Allati Syarakat Ummatuna fiha Al-Anbiya' (باب ذكر الأوصاف التي شاركت أمتنا فيها الأنبياء).

Metode Penulisan Kitab Funun Al-Afnan

Metode Imam Ibnu Al-Jauzi dalam penulisan kitab Funun Al-Afnan ini dapat dibagi dalam dua bagian; yaitu metode beliau dalam menulis muqaddimah kitab dan metode beliau dalam penulisan dan pembahasan setiap judul pembahasan tentang ilmu Al-Qur’an dalam kitabnya.

1. Metode Ibnu Al-Jauzi dalam penulisan Muqaddimah

Imam Ibnu Al-Jauzi memulai penulisan buku Funun Al-Afnan ini dengan sebuah muqaddimah singkat yang indah. Dalam muqaddimah tersebut Ibnu Al-Jauzi menyebutkan sebab kemulian seseorang yaitu dengan tauhid dan islam. Lalu beliau mengisyaratkan tentang mu'jizat Al-Qur'an baik dalam bentuk susunan katanya (uslub) atau pun kandungannya (madhmun). Setelah itu beliau kembali mengulangi tahmid kepada Allah SWT agar diberikan karunia untuk dapat menjaga Al-Qur'an dan mempelajarinya. Di akhir muqaddimahnya, beliau menyebutkan alasan mengapa beliau mengarang kitab Funun Al-Afnan ini.

Dalam muqaddimahnya ini, tampak bahwa Imam Ibnu Al-Jauzi selalu berpegang teguh pada adab para ulama terdahulu yang sebelum menulis kitabnya, mereka selalu meminta taufiq kepada Allah SWT agar dimudahkan dalam penulisan kitab yang akan mereka tulis, dan meminta agar diberikan pemikiran yang cemerlang dalam penulisannya.

2. Metode Ibnu Al-Jauzi dalam penulisan dan pembahasan setiap judul bab.

a. Bab ‘Keutamaan Al-Qur'an’ (فضائل القرآن)

Pada bab pertama dari bab-bab yang ada dalam kitabnya, Imam Al-Jauzi menuliskan gambaran singkat mengenai keutamaan Al-Qur'an. di dalamnya Al-Jauzi mengenalkan tentang besarnya pahala bagi orang yang mempelajari Al-Qur'an. Hal ini menjadi penguat bagi orang yang membaca buku ini untuk melihat lebih dalam lagi tentang ilmu-ilmu Al-Qur'an yang ada pada bab-bab selanjutnya.

b. Bab ‘Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluk’ (القرآن كلام الله وغير مخلوق).

Judul Al-Qur'an Kalamullah dan bukan makhluq merupakan judul yang mendasar dalam pembahasan ulum Al-Qur'an karena judul ini memiliki hubungan dengan tauhid. Banyak orang yang tergelincir dalam kesesatan karena salah dalam memahami bahwa Al-Qur'an adalah makhluq. Maka dalam bab ini Al-Jauzi menulisakan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah dan bukan makhluq.

Kemudian beliau menuliskan dalil ijma' yang diriwayatkan dari Abu Abdillah bin Mundah, bahwa para sahabat dan tabi'in dan para imam-imam setelahnya dari abad ke abad hingga sampai pada zamannya, bahwa mereka seluruhnya bersepakat bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah dan bukan makhluq. Siapa saja yang mengatakan selain itu maka hukumnya kafir.

c. Bab ‘Turunnya Al-Qur’an dalam Tujuh Huruf’ (نزول القرآن على سبعة أحرف)

Bab ini dimulai dengan penulisan hadits tentang turunnya Al-Qur'an dalam tujuh huruf, yaitu hadits dari Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim. Kemudian Al-Jauzi menyebutkan takhrij haditsnya bahwa para ulama berbeda-beda dalam memaknai apa yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam hadits tersebut. Jika melihat pada perbedaan para ulama dalam memaknai tujuh huruf dalam hadits ini, maka Perbedaan tersebut mencapai kurang lebih 35 pendapat. Namun Al-Jauzi dalam kitabnya ini hanya menyebutkan pendapat yang layak saja untuk dijadikan patokan. Beliau hanya menuliskan 14 pendapat saja dan menguatkan pendapat yang paling akhir disebutkan. Dalam kitab ini beliau menguatkan pendapat bahwa tujuh huruf dalam hadits bermakna tujuh bahasa.

Kemudian beliau menyebutkan perbedaan para ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa, pebedaan tersebut adalah bahasa mana saja dari bahasa kaum Arab, Al-Qur'an diturunkan. Namun beliau menafikan kesohihan setiap hadits yang menetapkan tujuh bahasa Arab dimana Al-Qur'an diturunkan. Kemudian beliau memperlihatkan pendapat beliau terhadap penentuan tujuh bahasa tersebut bahwa setiap hadits yang menyebutkan secara khusus tentang tujuh bahasa tersebut maka hadits itu tidak sah sanadnya, akan tetapi Al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab dalam tujuh bahasa Arab yang benar.

d. Bab 'Penulisan Al-Mushaf dan Pengejaannya’ (في كتابة المصحف وهجائه)

Dalam bab ini Ibnu Al-Jauzi hanya melakukan pembahasan tentang penulisan mushaf pada beberapa sisi pembahasan saja, yaitu pada penulisan kata-kata yang memiliki perbedaan dengan kaidah penulisan bahasa Arab secara umum. Namun dengan pengkhususannya pada beberapa sisi pembahasan tersebut, beliau tidak serta-merta membahasnya secara umum, bahkan beliau menuliskannya secara terperinci.

Dalam bab ini Al-Jauzi menjelaskan beberapa kata dalam Al-Qur'an yang terdapat perbedaan cara penulisan antara rasmul utsmani dengan kaidah penulisan bahasa Arab secara umum. Dalam hal ini, Al-Jauzi mengambil rujukan dari Ibnu Al-Anbari dan para ulama yang lainnya.

Seperti cara penulisan setiap kata Alla (ألا) dalam mushaf utsmani ditulis sebagai satu huruf yang bersambung kecuali pada 10 tempat. Pada 10 tempat tersebut kata Alla (ألا) ditulis dengan dua huruf yaitu (أن) dan (لا) atau (أن لا). Kemudian Al-Jauzi menyebutkan setiap ayat yang memuat penulisan kata Alla dengan dua huruf tersebut lengkap dengan nama surat dan nomor ayatnya.

Kemudian kata An-Ni'mah (النعمة) dalam mushaf ditulis dengan huruf Ha, kecuali pada 11 tempat. Kemudian beliau menyebutkan tiga jenis penulisan yang lain yang kesemuanya diambil dari tulisan Ibnu Al-Anbari. Namun beliau menyebutkan beberapa bentuk yang lainnya dalam mushaf yang diambil dari karangan ulama-ulama lain. Seperti kata Riba (الربا) ditulis dengan huruf waw kecuali pada surat Ar-Rum.

Dalam bab ini beliau tidak menyinggung tentang sejarah penulisan Al-Qur'an, yang dimulai dari zaman rasulallah, kemudian pengumpulan Al-Qur'an pada zaman Abu Bakar, sejarah penulisan dan pemersatuan bentuk mushaf di setiap daerah pada zaman Utsman, kemudian sejarah tentang penulisan teks Arab dengan beberapa tahapan, mulai dari penambahan titik pada huruf-huruf arab yang pada mulanya tidak memakai titik, pemberian baris dan tanda-tanda baca yang lainnya secara bertahap.

e. Bab "Jumlah surat dalam Al-Qur'an, Ayat-ayatnya, kalimat, huruf-huruf dan titik-titiknya'

Pada bab ini Ibnu Al-jauzi menyebutkan bahwa ijma' ulama mengatakan bahwa jumlah surta dalam Al-Qur'an sebanyak 114 surat, namun beliau juga menyebutkan beberapa pendapat yang lain tentang jumlah surat dalam Al-Qur'an seperti pendapat Ubai bin Ka’ab (116 surat) dan pendapat Ibnu Mas’ud.

Kemudian beliau menyebutkan perbedaan dalam jumlah ayat Al-Qur'an dengan menyebutkan beberapa mazhab dalam penentuan jumlah ayat dalam Al-Qur'an dan penisbatan pendapat tersebut kepada sumbernya. Perbedaan dalam penentuan jumlah ayat dalam Al-Qur’an ini dinisbatkan kepada lima daerah, yaitu; Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah dan Syam.

Lalu beliau menyebutkan jumlah kata dalam Al-Qur'an dari beberapa pendapat, seperti pendapat Ibnu Mas'ud, Mujahid, Ibnu Jabir, 'Atha bin yasar dan pendapat ulama yang lainnya.

Setelah itu beliau menyebutkan beberapa pendapat ulama dalam jumlah huruf dalam Al-Qur'an dari beberapa sumber. Dan yang terakhir beliau menyebutkan jumlah titik dalam Al-Qur'an.

f. Bab 'Bagian-bagian Al-Qur'an' (أجزاء القرآن)

Dalam bab yang cukup panjang ini, Ibnu Al-Jauzi menyebutkan beberapa tempat pembagian Al-Qur’an. Bagian-bagian itu seperti; setengah Al-Qur'an, sepertiga, seperempat, hingga sepersepuluh. Kemudian beliau menyebutkan bagian seperduabelas Al-Qur'an, hingga bagian seperduapuluh Al-Qur'an.

Perhatian Imam Ibnu Al-Jauzi dalam pembagian Al-Qur'an ke dalam beberapa bagian tersebut untuk membantu pembaca Al-Qur'an dalam menghafal dan mengingat Al-Qur'an.

g. Bab 'Jumlah Ayat dalam setiap surat' (عدد آيات السور)

Dalam bab ini Al-Jauzi menyebutkan jumlah ayat Al-Qur'an pada setiap surat. dimulai dari surat Al-Fatihah hingga surat An-Naas. Kemudian beliau juga menyebutkan beberapa pendapat Alhli Qiroat dalam jumlah ayat setiap surat dengan menjelaskan pendapat yang disepakati dan pendapat yang dipertentangkan.

Keutamaan-keutamaan Kitab Funun Al-Afnan

1. Kitab Funun Al-Afnan memiliki karakter pola kalimat yang jelas dan mudah dipahami. Secara umum dalam semua karangannya, Ibnu Al-Jauzi biasa menggunakan susunan kalimat yang mudah dipahami. Bahkan, ketika beliau menyitir tulisan Imam-imam sebelumnya, beliau berusaha untuk menyederhanakan kalimat-kalimat mereka sehingga mudah dipahami.

2. Kitab ini ditulis dengan ringkas dan dengan menggabungkan dasar-dasar ilmu Al-Qur'an yang ada. Beliau menjauhi penulisan judul-judul yang telah ditulis pada buku-bukunya yang terdahulu. Jika kita membaca setiap judul-judul dalam pembahasannya, maka kita akan mendapatkan setiap judul tersebut sebagai sebuah judul yang masih sangat luas, sehingga bisa dijadikan sebuah judul buku tersendiri. Setiap pembahasan dalam kitabnya kebanyakan tidak lebih dari satu lembar halaman, seperti pada judul tentang keutamaan Al-Qur'an.

3. Imam Al-Jauzi membangun tulisannya dalam kitab Funun Al-Afnan ini atas dasar runtutan logika yang mengalir dalam menampilkan maklumat yang ada. Sebagai contoh; Ibnu Al-Jauzi menuliskan hadits-hadits dan Atsar sebagai dalil bahwa Al-Qur'an bukan makhluq. Setelah itu beliau menampilkan dalil dari pendapat para sahabat dan tabi'in serta imam-imam mazhab dari abad ke abad secara runtut hingga buku ini ditulis.

4. Dalam beberapa bab dalam buku ini, Ibnu Al-Jauzi melakukan konvarasi antara judul bab yang dia bahas dengan karangan-karangan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh hasil penelitian beliau terdahulu tentang ilmu Al-Qur'an, lebih-lebih lagi buku ini dikarang setelah beliau mengarang kitab tafsir Zad Al-Masir fi Ulum Al-Qur'an. Hal ini tampak dari perkataan beliau bukunya, "Pemasalahan ini telah saya sebutkan dalam buku tafsir".

5. Imam Ibnu Al-Jauzi adalah ulama yang pernah lama menggeluti penulisan buku-buku tentang ilmu hadits, bahkan jauh sebelum beliau terfikir untuk menulis buku tentang ilmu Al-Qur'an. Ketika menulis buku tentang Ilmu Al-Qur'an, sifat Al-Ashalah (keotentikan) yang merupakan ciri khas dalam ilmu hadits diterapkan dengan baik dalam ilmu Al-Qur'an. Seperti ketika dalam penulisan suatu judul membutuhkan dalil dari hadits, beliau dengan sifat ashalahnya dengan mudah menghadirkan hadits-hadits yang berkaitan dengan judul, bahkan hadits-hadits tersebut ditulis lengkap dengan sanadnya kepada imam-imam yang meriwayatkannya. Seperti hadits-hadits yang terdapat dalam bab 'Seputar keutamaan Al-Qur'an’.

6. Dalam bukunya, Imam Ibnu Al-Jauzi menampilkan statistik ayat-ayat yang mutasyabih, bahkan beliau meletakkan ayat-ayat yang mutasyabih dengan ayat mutasyabih lainnya dengan berpasang-pasangan, walaupun terdapat dalam ayat dan surat yang berbeda-beda. Fase ini merupakan fase yang ada di atas fase pengelompokan lafaz-lafaz Al-Qur'an. Perbandingan ayat-ayat mutasyabih ini merupakan hal yang sangat menolong bagi para penghafal Al-Qur'an untuk menguatkan hafalannya.

7. Imam Ibnu Al-Jauzi merujuk pada buku-buku klasik yang merupakan karangan imam-imam terdahulu. Seperti Imam Al-Hafidz Ibnu Hibban, Imam Ibnu Jarir At-Thabari, Abu Bakar Muhammad Ibnu Al-Qasim Al-Anbari, Abu Al-Hasan Ahmad bin Ja'far.

8. Dalam kitab ini, beliau juga menuliskan pendapat yang kuat dalam permasalahan-permasalahan yang pokok, seperti pada permasalahan Tujuh huruf Al-Qur'an. Kemudian beliau juga memberikan sesuatu yang baru yang tidak kita dapatkan di dalam kitab-kitab yang lain, seperti pemaparan beliau terhadap riwayat-riwayat yang sangat banyak dari imam-imam salaf tentang permasalahan Al-Qur'an sebagai kalamullah.

Contoh Pembahasan di dalam Kitab Funun Al-Afnan

Nuzul Al-Qur’an ‘Ala Sab’ati Ahruf (نزول القرآن على سبعة أحرف)

Pada bab ini Ibnu Al-jauzi memulai pembahasan dengan menulis hadits tentang turunnya Al-Qur'an dalam tujuh huruf. Dalam penyebutan hadits ini Imam Ibnu Al-Jauzi menyebutkan sanad haditsnya dengan lengkap, sebagaimana yang beliau tulis di awal bab ini[4]:

أخبرنا ابن الحصين، قال جدثنا أبن المذهب، قال: أخبرنا أبو بكر بن مالك، قال: أخبرنا عبد الله بن أحمد بن حنبل، قال: حدثنا أبي، قال: أخبرنا عبد الأعلى، عن معمر عن الزهري، عن عروة، عن المسور بن مخرمة: أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: ((سمعت هشام بن حكيم بن حرام يقرأ سورة الفرقان فقرأ فيها حروفا لم يكن نبي الله صلى الله عليه وسلم أقرأنيها، فأردت أن أساوره وأنا في الصلاة، فلما فرغ قلت: من أقرأك هذه القراءة؟ قال: رسول الله صلى الله عليه وسلم، قلت: كذبت! فأخذت بيده أقوده إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقلت: إنك أقرأتي سورة الفرقان، وإني سمعت هذا يقرآ حروفا لم تكن أقرأتنيها! فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اقرآ يا هشام، فقرأ كما كان قرأ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: هكذا أنزلت، ثم قال: اقرأ يا عمر، فقرأت، فقال: هكذا أنزلت، ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن القرآن أنزل على سبعة أحرف))

Artinya:

Dari Ibnu Al-Hushain, dari Ibnu Al-Mazhab, dari Abu Bakar bin Malik, dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal, dari ayahku, dia berkata, bahwa Abdullah Al-A’la memberitahukan kepadaku, dari Mu’ammar dari Az-Zuhri dari Urwah, dari Al-Miswar bin Mukhramah, bahwa Umar bin Al-Khattab RA pernah berkata, “Saya mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat Al-Furqan, lalu dia membaca di dalam surat itu beberapa huruf yang tidak pernah rasulallah membacakannya kepadaku, mendengar bacaannya tersebut aku ingin sekali menyerangnya sedangkan aku dalam kondisi shalat. Maka setelah selesai melakukan shalat, aku berkata kepadanya, “Siapa yang membacakan ayat itu kepadamu dengan bentuk bacaan seperti itu?” Hisyam berkata, “Rasulallah”. Kemudian aku berkata, “Kamu bohong”. Kemudian aku membawanya kepada rasulallah, kemudian aku berkata, wahai rasul, sesungguhnya engkau telah membaca surat Al-Furqan kepadaku, sedangkan aku mendengar dia (Hisyam) membacanya dengan cara yang tidak kamu baca. Rasul berkata, “Bacalah wahai Hisyam’. Kemudian Hisyam membacanya seperti yang dia baca pada waktu shalat. Kemudian rasul berkata, “begitu lah ayat ini diturunkan”. Kemudian berkata kepada Umar, “bacalah wahai Umar”.Kemudian Umar membacanya. Lalu rasul berkata, “begitulah Al-Qur’an diturunkan”. Kemudian rasul bersabda, “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf”.

Setelah menyebutkan hadits ini, Imam Al-Jauzi menyebutkan derajat hadits ini bahwa hadits ini adalah hadits yang shahih dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.

Al-Jauzi juga menyebutkan takhrij haditsnya bahwa para ulama berbeda-beda dalam memaknai apa yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam hadits tersebut. Jika melihat pada perbedaan para ulama dalam memaknai tujuh huruf dalam hadits ini, maka Perbedaan tersebut mencapai kurang lebih 35 pendapat. Namun Al-Jauzi dalam kitabnya ini hanya menyebutkan pendapat yang layak saja untuk dijadikan patokan. Beliau hanya menuliskan 14 pendapat saja dan menguatkan pendapat yang paling akhir disebutkan. Dalam kitab ini beliau menguatkan pendapat bahwa tujuh huruf dalam hadits bermakna tujuh bahasa.

Adapun 14 belas pendapat yang dimaksudkan di antaranya adalah:

1. Pendapat yang mengatakan bahwa tujuh huruf dalam hadits tersebut adalah; Halal dan haram, Perintah dan larangan, Amtsal, Muhkam dan mutasyabih. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Salamah dari Abu Hurairah.

2. Pendapat yang kedua, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah; halal dan haram, perintah dan larangan, berita tentang hal yang telah terjadi dan berita tentang seuatu hal yang akan terjadi dan yang ketujuh Amtsal.

3. Pendapat ketiga, tujuh huruf adalah; halal, haram, janji dan ancaman, nasehat dan Amtsal (perumpamaan), dan hujjah.

4. Pendapat keempat, tujuh huruf yang dimaksud adalah; Muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, khusus dan umum, dan cerita.

5. Pendapat kelima adalah; Muqaddam dan muakhar, Faraid dan hudud, nasehat, mutasyabih dan amtsal.

6. Pendapat keenam, bahwa tujuh huruf adalah lafadz khusus yang dimaksudnya dengan kekhususannya, dan lafadz umum yang dimaksudkan dengan keumumannya, lafadz umum yang dimaksudkan dengan kekhususannya, lafadz khusus yang dimaksudkan keumumannya, lafadz yang dengan cara turunnaya tidak perlu lagi ditakwilkan, lafadz yang tidak diketahui maknanya kecuali para ulama, dan lafadz yang tidak diketahui maknanya kecuali orang-orang yang memiliki keilmuan yang kuat (الراسخون في العلم).

7. Pendapat ketujuh, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah ayat yang menetapkan wujud Allah sebagai pencipta, ayat yang menetapkan keesaan Allah, ayat yang menetapkan sifat-sifatNya, ayat yang menetapkan kerasulan Nabi Muhammad, ayat yang menetapkan kitabNya, ayat yang menetapkan agama islam, dan ayat yang menggagalkan kekafiran.

8. Pendapat kedelapan adalah; bahwa tujuh huruf adalah keimanan kepada Allah, keimanan kepada Muhammad, keimanan kepada Al-Qur'an, keimanan kepada para rasul, keimanan kepada kitab-kitab Allah, keimanan kepada malaikat, keimanan kepada hari kebangkitan.

9. Pendapat kesembilan, tujuh huruf adalah; sesuatu yang masuk dalam bahasa, seperti hamzah, fathah, imalah, tafkhim, mad dan qasr.

10. Pendapat kesepuluh, tujuh huruf adalah; lafadz-lafadz yang berbeda-beda namun memiliki satu makna, seperti kata; Halumma (هلم), ta'ala (تعال), Aqbala (أقبل) Ha Huna (ههنا), Ilayya (إلي), 'Indi (عندي), A'tif 'Alayya (اعطف علي).

11. Pendapat kesebelas; yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh sisi, yaitu; Jamak dan tauhid, seperti (بشهادتهم) dan (بشهاداتهم), kemudian At-tdzkir dan ta'nis, seperti (لتحصنكم) dan (ليحصنكم), I'rab, Tasrif, Adawat, takhfif, pebedaan bahasa dalam mad dan qasr, hamz dan tanpa hamz, imalah dan tafkhim, idgham dan idzhar, dan mendhammahkan mim dalam (الجمع)dan mengkasrahkannya. dan yang ketujuh adalah, merubah lafadz dari bentuk hadir kedalam bentuk ghaib.

Dan pendapat yang terakhir, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa orang arab.Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Al-Jauzi sebagai pendapat yang terkuat dari pendapat-pendapat yang lainnya.

Kemudian beliau menyebutkan perbedaan para ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa, pebedaan tersebut adalah Al-Qur’an diturunkan pada bahasa mana saja dari bahasa kaum Arab. Namun beliau menafikan kesohihan setiap hadits yang menetapkan tujuh bahasa Arab dimana Al-Qur'an diturunkan. Kemudian beliau memperlihatkan pendapat beliau terhadap penentuan tujuh bahasa tersebut bahwa setiap hadits yang menyebutkan secara khusus tentang tujuh bahasa tersebut maka hadits itu tidak sah sanadnya, akan tetapi Al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab dalam tujuh bahasa Arab yang benar.

Daftar Pustaka:

Al-Jauzi Abdurrahman, Funun Al-Afnan fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, (Cetakan 1, th. 1987M/ 1408H).

[1] Abdurrahman Al-Jauzi, Funun Al-Afnan fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, (Cetakan 1, th. 1987M/ 1408H), hal. 25.

[2] Abdurrahman Al-Jauzi, Funun Al-Afnan fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, (Cetakan 1, th. 1987M/ 1408H), hal. 138.

[3] Abdurrahman Al-Jauzi, Funun Al-Afnan fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, (Cetakan 1, th. 1987M/ 1408H), hal. 100.

[4] Abdurrahman Al-Jauzi, Funun Al-Afnan fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, (Cetakan 1, th. 1987M/ 1408H), hal. 196.

PENGARUH IBNU MUJAHID TERHADAP ILMU QIRO’AT SAB’AH

|0 komentar

Pendahuluan

Ibnu Mujahid adalah seorang ulama' qiro'at yang menaruh perhatian besar ternadap ilmu qiro'at. Tidak sampai di situ, dengan perhatian yang begitu besar terhadap ilmu qiro'at, beliau juga mengarang sebuah kitab tentang qiro'at yang berjudul As Sab'ah fi Al Qiro'at.

Dalam kitab tersebut Ibnu Mujahid hanya memilih tujuh orang imam dari ratusan imam-imam qiro'at yang ada pada masa tersebut. Pemilihan ketujuh imam qiro’at ini didasarkan pada syarat-syarat tertentu yang dia tetapkan. Imam Ibnu Mujahid juga membaginya berdasarkan wilayah-wilayah yang terkenal dengan ilmu pengetahuan dan qiro’at pada masa itu. Wilayah-wilayah tersebut adalah; Madinah, Makkah, Damaskus, Syam, Basrah dan Kufah. Kota-kota ini lah yang menjadi tujuan pengiriman mushaf Utsmani pada masa khalifah ketiga, Khalifah Utsman bin Affan. Dari kota-kota ini juga tumbuh pusat-pusat ilmu qiro’at, fiqih, tafsir dan ilmu keislaman yang lainnya. Setelah itu Imam Ibnu Mujahid memilih dua orang yang mengambil riwayat bacaan dari setiap imam yang tujuh tersebut. Lalu menjelaskan dasar dari qiro'at yang tujuh tersebut dan memaparkannya.

Buku As Sab’ah fi Al Qiro’at karangan Ibnu Mujahid ini, telah menjadi salah satu referensi utama bagi para penuntut ilmu yang ingin mendalami ilmu qiro'at. Dengan metodenya dalam penulisan buku ini, membuat ilmu qiro’at menjadi lebih mudah, sehingga memberikan banyak manfaat bagi orang-orang yang ingin mendalami ilmu qiro’at.

Biografi Ibnu Mujahid

Beliau adalah Ahmad bin Musa bin Al 'Abbas bin Mujahid At Taimi Al Baghdadi. Dilahirkan di sebuah daerah yang dinamakan Suq Al 'Athasy di kota Bagdad pada tahun 245 H. Beliau meninggal dunia pada hari Rabu pada tanggal 11 Sya'ban tahun 324 H.[1]

Ibnu Mujahid adalah seorang yang tekun dalam menuntut ilmu. Hingga bila dihitung, guru-gurunya lebih dari lima puluh orang. Namun dalam makalah ini tidak semuanya disebutkan, diantaranya; Abdurrahman bin Abdus, Muhammad bin Abdurrahman al Makhzumi al Maky, Abdullah bin Katsir al Muadib al Bagdadi.

Beliau juga mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, diantaranya; Abu Tohir Abdul Wahid bin Umar bin Abi Hisyam, Al Hasan bin Said al Mathu’I, Abu Ahmad Abdullah bin al Husain as Samiri.

Sebab-sebab Penulisan Kitab

Pada dasarnya, Ibnu Mujahid bukan lah orang yang pertama kali mengumpulkan sejumlah qiro'at para Imam qiro'at dalam satu buku. Telah ada ulama lain yang terlebih dahulu melakukan apa yang dia kerjakan, di antara para ulama itu adalah:

1. Abu Ubaid Al Qasim bin Salam (224H). Dia telah mengumpulkan lima belas jenis bacaan para Imam dalam kitab karangannya yang berjudul Qararat.[2]

2. Ismail bin Ishaq Al Qadhi, Abu Ishaq Al Azadi Al Baghdadi (282H), beliau juga guru Ibnu Mujahid. Beliau telah mengarang sebuah kitab yang di dalamnya mencantumkan dua puluh bacaan Imam Ahli qiro'at.

Di antara sebab yang mendorong Ibnu Mujahid menulis sebuah buku tentang qiro'at adalah keinginannya yang besar untuk menjaga bacaan-bacaan tersebut dan mempermudah untuk mendapatkannya dan mempelajarinya. Di mana orang-orang yang ingin menuntut ilmu qiro'at pada umumnya merasakan kesusahan dengan banyaknya cabang-cabang qiro'at dan jalan-jalan periwayatannya, belum lagi dengan illat (alasan) yang ada pada setiap bacaan. Ibnu Mujahid telah mengisyaratkan hal ini ketika dia ditanya, "Mengapa anda tidak menulis (tentang qiro'at) satu huruf saja (yaitu bacaan dari satu imam qiro'at)?" Kemudian dijawab oleh Ibnu Mujahid, "Menjaga seluruh bacaan yang dipakai oleh Imam-imam terdahulu lebih dibutuhkan dari pada memilih salah satu di antara mereka".[3]

Ini merupakan ungkapan yang sangat jelas dari Ibnu Mujahid tentang keinginannya yang besar dalam menjaga qiro'at yang ada dan memeliharanya, serta menjadikan ilmu qiro'at sebagai sesuatu yang mudah bagi penuntut ilmu.

Imam Qiro'ah Tujuh

Ibnu Mujahid memilih tujuh orang imam qiro'at dari imam-imam qiro'at yang terkenal pada zamannya. Kemudian dari masing-masing imam tersebut, dia memilih dua orang yang meriwayatkan bacaan darinya. Ketujuh imam tersebut dan dua orang yang meriwayatkan bacaan dari mereka adalah:

1. Nafi'

Dia adalah Nafi' Bin Abdurrahman. Berasal dari Asbahan dan meninggal dunia di Madinah pada tahun 169 H.

Adapun dua orang murid yang meriwayatkan qiro'at darinya adalah:

1.1. Qolun, yang bernama Isa bin Mina Al Madani.

1.2. Warasy, yang bernama Utsman bin Sa'id Al Mishri.

2. Ibnu Katsir

Dia adalah Abdullah bin Katsir Ad Dar. Meninggal di Makkah pada tahun 120 H.

Dua orang murid yang meriwayatkan qiro'at darinya adalah:

2.1. Al Bazi, yang bernama asli Ahmad bin Muhammad bin Al Qasim bin Nafi' Al Maki.

2.2. Qunbul

Perlu diketahui bahwa Al Bazi dan Qunbul ini telah meriwayatkan qiro'at dari Ibnu Katsir, namun mereka tidak secara langsung mengambil riwayat tersebut darinya.

3. Abu 'Amr Al Bashri

Dia adalah Abu 'Amr bin Al 'Ala' bin 'Ammar Al Mazini. Meninggal di Kufah pada tahun 154 H.

Dua orang yang meriwayatkan qiro'at darinya adalah:

3.1. Ad Duri, yang bernama asli Abu Umar Hafsh bin Umar bin Abdul Aziz bin Shuhban Al Azadi.

3.2. As Susi, yang bernama asli Abu Syu'aib bin Shalih bin Ziyad.

4. Ibnu Amir As Syami.

Dia adalah Abdullah bin Amir Al Yahshabi. Seorang Qodhi di Damaskus pada zaman kekhalifahan Al Walid bin Abdul Malik. Meninggal pada tahun 118 H di Damaskus.

Dua orang yang meriwayatkan qiro'at darinya adalah:

4.1. Hisyam bin Ammar bin Nashir

4.2. Ibnu Dzakwan, yang bernama asli Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan.

5. Ashim bin Abi An Najud Al Kufi.

Beliau adalah seorang tabi'in. Meninggal pada tahun 127 H di Kufah.

Dua orang yang meriwayatkan qiro'at darinya adalah:

5.1. Abu Bakar Su'bah bin 'Iyash.

5.2. Hafsh bin Sulaiman bin Al Mughirah.

6. Hamzah Bin Habib.

Beliau adalah Hamzah bin Habib bin Ammarah. Meninggal dunia pada tahun 156 H di Hulwan.

Dua orang yang meriwayatkan qiro'at darinya adalah:

6.1. Khalaf bin Hisyam Al Bazzar.

6.2. Khlallad bin Khalid.

7. Al Kisa'i

Beliau adalah Ali bin Hamzah An Nahwi. Meninggal dunia di Ranbuyah di khurasan pada tahun 289 H.

Dua orang yang meriwayatkan qiro'at darinya adalah:

7.1. Abu Umar bin Hafsh bin Umar bin Ad Duri yang juga meriwayatkan dari Abu Amr Al Bashri.

7.2. Abu Al Harits Al Lais.

Kota-Kota Asal Para Imam Qiro'ah yang Tujuh

1. Madinah Al Munawwarah,

Dari kota ini Ibnu Mujahid mengambil satu orang imam yaitu Nafi dan yang meriwayatkan darinya adalah Qolun dan Warash.

2. Makkah,

Dari kota ini Ibnu Mujahid mengambil satu orang imam, dia adalah Imam Abdullah bin Katsir. Dan dua orang yang meriwayatkan darinya adalah Al Bazi dan Qunbul.

3. Al Bashrah,

Dari kota ini Ibnu Mujahid mengambil seorang imam yaitu Imam Abu Amr Al Bashri. Dan yang meriwayatkan darinya adalah Ad Duri dan As Susi.

4. Syam,

Dari kota ini Ibnu Mujahid mengambil seorang imam yaitu Abdullah bin Amir. Sedangkan yang meriwayatkan darinya adalah Hisyam dan Zakwan.

5. Kufah,

Dari kota ini Ibnu Mujahid memilih tiga orang imam, mereka itu adalah:

a) ‘Ashim bin Abi An Najud. Dua orang yang meriwayatkan darinya adalah Syu'bah dan Hafsh.

b) Hamzah dan dua orang yang meriwayatkan darinya adalah Khalaf dan Khallad.

c) Al Kisa'I dan dua orang yang meriwayatkan darinya adalah Abu Al Harits dan Ad Duri.

Pengaruh Manhaj Ibnu Mujahid dalam Penentuan Qiro'ah yang diterima dan Qiro'ah yang ditolak

Tidak diragukan lagi bahwa apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Mujahid memiliki pengaruh dalam menjelaskan batasan-batasan antara qiro'ah yang diterima dan qiro'ah yang ditolak atau dalam istilah lain antara qiro'ah yang shahih dan qiro'ah yang syazah. Sebagaimana perkataan Ibnu Mujahid:

"Tujuh orang imam ini yang berasal dari Hijaz, Iraq dan Syam, mereka ini memiliki qiro'at yang berbeda dengan qiro'at tabi'in, sedangkan sebagian besar ulama' dari kota-kota tersebut maupun daerah-daerah yang ada disekitarnya, bersepakat atas qiro'at mereka. Terkecuali seseorang yang mengambil bacaan yang syaz yang diriwayatkan secaara sendiri dari ulama terdahulu, maka bacaan ini tidak masuk ke dalam bacaan yang disepakati oleh jumhur.

Maka tidak wajar bagi orang yang memiliki ilmu pengetahuan untuk menyimpang dari qiro'at para salaf yang sesuai dengan bahasa Arab atau menyimpang dari qiro'at yang disepakati oleh para jumhur ulama”.

Dari potongan kalimat Ibnu Mujahid ini mengisyaratkan kepada kita bahwa dia telah mengelompokkan tujuh qiro’at dari tujuh imam tersebut kedalam qiro’at yang disepakati para ulama, sedangkan selain qiro'at yang tujuh itu merupakan qiro'at yang tidak disepakati.

Tidak hanya sebatas itu, Ibnu Mujahid lebih lanjut telah mengarang sebuah kitab tentang qiro'at syazah, akan tetapi sayangnya kitab karangannya ini hilang bersama kitab-kitab turas yang hilang.[4]

Namun apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Mujahid ini tidak memberikan pemahaman bahwa istilah qiro'at syazah baru muncul pada zamannya. Akan tetapi istilah qiro'at syazah ini telah dikenal semenjak penulisan mushaf pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan, di mana para sahabat yang bertugas menyalin Al Qur'an ke dalam satu mushaf, sangat menghindari setiap bacaan yang tidak disepakati atau berasal dari riwayat ahad. Sehingga qiro'at syazah ini tidak ada sama sekali ditulis dalam mushaf Al Qur'an.

Penulisan mushaf yang dilakukan oleh lajnah penulisan Al Qur'an pada masa itu menjadikan kriteria qiro'at yang dibaca dan qiro'at yang tidak dibaca sebagai kriteria pertama. Dari sinilah dikenal istilah qiro'at syazah atau qiro’at yang menyimpang.

Ibnu Mujahid, dengan keilmuan dan kedudukannya sebagai seorang ulama, beliau melarang qiro'at syazah dengan keras. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Ibnu Mujahid pernah menuntut Ibnu Syanbudz Al Baghdadi yang membolehkan qiro'at yang berbeda dengan qiro'at yang terdapat pada mushaf utsmani. Ibnu Mujahid melarang qiro'at yang bertentangan dengan rasm utsmani serta memperingatkannya, akan tetapi Ibnu Syanbudz tetap pada pendiriannya. Sehingga Ibnu Syanbuz dibawa ke hadapan pengadilan yang dihadiri oleh wazir Abu Ali bin Muqlah, serta dihadiri oleh Ibnu Mujahid sendiri dan para ulama serta para hakim lainnya. Kemudian diminta untuk bertobat dan meninggalkan qiro'at syazah. Kejadian ini terjadi pada bulan Rabi'ul Akhir tahun 323 H. Di antara contoh qiro’at syazah yang dipakainya seperti bacaan-bacaan dalam tabel berikut:

1. Nama Surat : QS. Al Jumu’ah: 9

Qiro’ah Syazah : فامضوا إلى ذكر الله

Qiro’ah Asli : فاسعوا إلى ذكر الله

2. Nama Surat : QS. Al Waqi’ah: 82

Qiro'ah Syazah : وتجعلون شكركم أنكم تكذبون

Qiro'ah Asli : وتجعلون رزقكم أنكم تكذبون

3. Nama Surat : QS. Al Qari’ah: 5

Qiro'ah Syazah : كالصوف المنفوش

Qiro'ah Asli : كالعهن المنفوش


Perinsip ini selalu dijalankan dan diikuti oleh para ulama setelah Ibnu Mujahid, yaitu meminta orang yang membaca Al Qur'an dengan qiro'at syazah agar bertobat kepada Allah swt atas bacaan yang dia baca. Hal ini tampak pada peristiwa yang terjadi pada Ibnu Muqsim Al 'Athar (354H). Dia pernah berkata tentang qiro'ah syazah:

"Semua qiro'ah yang sesuai dengan mushaf dan memiliki hubungan yang benar dengan bahasa Arab, maka qiro'ah tersebut dibolehkan walaupun tidak ada sanadnya".

Maka kemudian Muqsim Al 'Athar dibawa ke pengadilan dan diancam hukuman mati jika tidak mau bertobat. Maka kemudian dia bertobat dan mengakui kesalahan yang dia lakukan.
Pengaruh Manhaj Ibnu Mujahid terhadap Penulisan Ilmu Qiro'at

Dalam kitabnya Ibnu Mujahid menyebutkan bahwa tujuh orang ahli qiro'at yang dia cantumkan di dalam kitabnya, memiliki qiro’at yang berbeda dengan qiro'at para tabi'in. Sedangkan para ulama' lainnya bersepakat terhadap qiro’at imam yang tujuh tersebut. Dengan statementnya ini, Ibnu Mujahid seakan-akan mencari legalisasi atau pembenaran bagi dirinya karena dia hanya memilih tujuh qiro'at dari tujuh imam tersebut.

Lebih lanjut Ibnu Mujahid berkomentar setelah menyebutkan biografi tujuh orang imam tersebut. Dia berkata:

"Tujuh orang imam ini yang berasal dari Hijaz, Iraq dan Syam, mereka ini memiliki qiro'at yang berbeda dengan qiro'at tabi'in, sedangkan sebagian besar ulama' dari kota-kota tersebut maupun daerah-daerah yang ada disekitarnya, bersepakat atas qiro'at mereka. Terkecuali seseorang yang mengambil bacaan yang syaz yang diriwayatkan secaara sendiri dari ulama terdahulu, maka bacaan ini tidak masuk ke dalam bacaan yang disepakati oleh jumhur.

Maka tidak wajar bagi orang yang memiliki ilmu pengetahuan untuk menyimpang dari qiro'at para salaf yang sesuai dengan bahasa Arab atau menyimpang dari qiro'ah yang disepakati oleh para jumhur ulama”.

Statement Ibnu Mujahid ini, menimbulkan gambaran kepada kita bahwa Ibnu Mujahid seolah-olah menganggap tujuh bacaan dari tujuh qiro'at yang dia kumpulkan dalam kitabnya sebagai qiro'at yang disepakati oleh jumhur, sedangkan qiro'at selain dari tujuh imam tersebut dianggap sebagai qiro'at yang tidak disepakati.

Statement Ibnu Mujahid inilah yang kemudian menjadi pendorong dan pemicu bagi sebagian besar ulama ahli qiro'at untuk menulis kitab yang membantah permasalahan yang ada dalam kitab karangan Ibnu Mujahid. Mereka juga menjelaskan bahwa dibalik tujuh qiro'at yang ada dalam kitab Ibnu Mujahid juga terdapat qiro'at lain yang benar dan diakui.

Pilihan Ibnu Mujahid terhadap tujuh qiro'at dari tujuh imam ini juga menimbulkan kontroversi dan keragu-raguan pada sebagian orang. Mereka menganggap bahwa tujuh qiro'at yang ada dalam kitab Ibnu Mujahid tersebut memiliki hubungan dengan tujuh huruf yang terdapat dalam hadits Nabi. Dari kontroversi yang muncul ini, banyak para ulama ahli qiro'at mengarang kitab yang isinya menjelaskan perbedaan antara tujuh qiro'at yang terdapat di dalam kitab Ibnu Mujahid dengan tujuh huruf yang ada di dalam hadits nabi. Dalam hal ini, ada ulama' yang menyalahkan Ibnu Mujahid karena kitabnya yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, dan di antara mereka ada ulama' yang memakluminya, dan menjelaskan bahwa Ibnu Mujahid pada dasarnya tidak memasukkan tujuh qiro'at tersebut ke dalam makna tujuh huruf yang ada dalam hadits Nabi.

Bukan sebatas itu saja, bahkan para ulama' menulis kitab-kitab dalam ilmu qiro'at yang memasukkan qiro'at-qiro'at lain selain qiro'at tujuh imam yang ada dalam kitab Ibnu Mujahid. Di antara mereka ada yang menulis tujuh qiro'at seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mujahid, ada juga yang menulis enam qiro'at, delapan qiro'at, sepuluh qiro'at. Semua itu bertujuan untuk menghilangkan keraguan masyarakat awam terhadap tujuh qiro'at terhadap hubungannya dengan tujuh huruf dalam hadits Nabi saw. Di antara ulama' ada juga yang menjelaskan alasan dari tujuh bacaan yang terdapat dalam kitab Ibnu Mujahid dan menjelaskan alasannya sesuai dengan bahasa dan I'rab.

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa kitab karangan Ibnu Mujahid dalam ilmu qiro'at ini telah mampu mendorong dan menyegarkan semangat para ulama' ahli qiro'at dalam mengarang kitab-kitab tentang qiro'at. Baik yang bertujuan untuk memperbaiki apa yang telah ditulis oleh Ibnu Mujahid dalam kitabnya maupun yang bertujuan untuk menolak, mengkritik, atau menjelaskan alasan bacaannya baik dari sisi bahasa, i'rab dan maknanya.

Penutup

Imam Ibnu Mujahid adalah seorang ulama' besar yang memiliki keilmuan yang tinggi terutama dalam ilmu qiro'at. Perhatiannya yang besar terhadap ilmu qiro'at telah mengantarkannya dalam mengarang kitab yang memberikan kemudahan bagi para penuntut ilmu untuk mempelajari macam-macam qiro'at yang berbeda dalam Al Qur'an. Kitab yang dimaksud adalah kitab As Sab'ah fi Al Qiro'at.

Dalam kitab tersebut, Ibnu Mujahid hanya mengumpulkan bacaan dari tujuh orang imam qiro'at dari sekian banyak imam-imam qiro'at pada masanya. Hal ini dia lakukan tujuannya tidak lain hanyalah untuk menjaga kelestarian qiro'at tersebut dan juga memberikan kemudahan bagi para penuntut ilmu untuk mempelajari ilmu qiro'at.

Ibnu Mujahid juga berperan dalam menjelaskan batasan-batasan antara qiro'at yang diterima dan qiro'at yang ditolak. Dia juga berperan dalam mendorong imam-imam ahli qiro'at yang lain untuk menulis karya-karya dalam ilmu qiro'at. Walaupun dalam penulisan bukunya, Ibnu Mujahid juga menuai kontroversi, yaitu membuat kerancuan makna antara tujuh qiro'ah dan tujuh huruf dalam hadits Nabi. Namun semua itu telah menumbuhkan semangat untuk menulis bagi imam-imam qiro'at yang lain, sebagaimana dijelaskan di muka.

Ditulis oleh Marliza Sosianti

Mahasiswa Pasca Sarjana PTIQ Jakarta 2011

Referensi

Al Jazari Ibnu , Kitab Ghayah An Nuhayah fi Thabaqat Al Qurra' (Maktabah Syamilah: Edisi 3,42).

Utsman bin Sa'id Abu ‘amr, At Taisir fi Al Qiro'at As Sab'i (Beirut: Dar Al Kitab Al 'Arabi: 1984M).

Mujahid Ibnu , As Sab'ah fi Al Qiro'at (Kairo: Dar Al Ma'arif).

Syahin Abdussobur , Tarikh al Qur'an (Dar al Qolam: 1966).

Muhammad bin Ahmad az Zahabi, Siroh A'lamu an Nubala', (Muasisah ar Risalah; Baerut; 1982).

[1] Ibnu al Jazary ad Dimasyqi, Ghoyatu an Nihayah fi Tobaqati al Qura', (Dar al Kutub al 'Ilmiah; Baerut tth), hal: 61.

[2] Ibnu al Jazary ad Dimasyqi, Ghoyatu an Nihayah fi Tobaqati al Qura', (Dar al Kutub al 'Ilmiah; Baerut tth), jil: 1, hal: 162.

[3] Muhammad bin Ahmad az Zahabi, Siroh A'lamu an Nubala', (Muasisah ar Risalah; Baerut; 1982), hal: 256.

[4] Dr. Abdu Sobur Syahin, Tarikh al Qur'an (Dar al Qolam: 1966), hal.220