Menjadi Sang Pionir

|0 komentar
Pada suatu hari, di tengah-tengah sahabatnya, Rasulallah menceritakan bahwa beliau pernah ditampakkan kepadanya beberapa umat terdahulu. Di antara umat-umat terdahulu tersebut Ada seorang nabi atau dua orang nabi yang berjalan dengan diikuti oleh 3 sampai 9 orang pengikutnya. Ada pula seorang nabi yang tidak punya pengikut seorangpun. Sampai akhirnya ditampakkan kepada Rasulallah segolongan besar manusia. Rasul pun bertanya, “Apakah ini ummatku wahai Jibril?”
Jibril pun menjawab, “Ini adalah Musa dan kaumnya wahai Muhammad.”

Memaknai Fitrah di Hari yang Fitri

|0 komentar
Moment lebaran adalah moment yang membahagiakan dan sangat ditunggu-tunggu oleh setiap orang. Berbeda kalangan, maka berbeda pula alasan kebahagiaan mereka dalam menyambut hari raya yang satu ini. Bagi orang-orang yang tidak suka puasa, moment ini berarti saatnya menyantap hidangan ketupat dan beraneka ragam kue. Bagi yang tidak suka shalat malam, moment ini berarti kebebasan dari kegiatan berdiri berlama-lama mendengarkan bacaan imam sambil ngantuk-ngantukan. Bagi pedagang mainan anak-anak, moment ini berarti meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Bagi yang jarang pulang kampung, moment ini berarti mudik dan kumpul keluarga. Dan begitulah seterusnya, setiap orang, memiliki kesan tersendiri terhadap hari Idul Fitri. Tapi manakah yang benar?

Ketika mendengar kata ‘Fitrah’ yang langsung terbayang dalam benak fikiran kita adalah kata suci. Kata ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kata suci. Karena secara bahasa, fitrah (fithrah) berasal dari kata fathara–yafthuru–fathr[an] wa futhr[an] wa fithrat[an] yang berarti pecah, belah, terbuka dan mencipta. Namun kata al-fithr artinya ciptaan. Dari kata ciptaan ini lah dapat disimpulkan kata suci. Karena pada awal penciptaannya, manusia adalah makhluk yang bebas dari dosa dan kesalahan. Hal ini sebagaimana terkandung dalam sebuah hadits Nabi:

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad, Malik).

Ringkasnya, Idul Fitri berarti kembali kepada kesucian, yaitu kondisi ketika manusia pertama kali dilahirkan. Tidak membawa dosa dan kesalahan. Makna Idul Fitri semacam ini hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan kepada Allah seraya mengintrospeksi dirinya. Karena Allah swt menjanjikan pengampunan dosa bagi mereka. Rasulallah pernah bersabda:

“Barang siapa yang menjalankan ibadah puasa dengan penuh keimanan seraya mengintrospeksi dirinya maka Allah akan memaafkan dosanya yang telah lalu.”

Lalu apakah makna idul fitri ini hanya sebatas kembalinya kita dalam kondisi bebas dari dosa,? Jika kita memahami fitrah hanya sebatas pada kesucian diri dari dosa, maka pada bulan-bulan yang lain, tidak ada jaminan kita terbebas dari dosa, karena kondisi seperti ini hanya akan menjadi garis start yang aman untuk mengejar dosa-dosa yang baru.

Jika kita melihat lebih dalam terhadap kata fitrah, kata ini berarti kondisi manusia yang selalu cenderung pada kebaikan. Salah satu buktinya, jika seseorang ditanya, apakah anda ingin masuk surga atau neraka? Jawabannya tentu surga. Apakah anda ingin baik atau jahat? Pasti jawabannya ingin baik. Begitu juga dengan hal-hal yang berbau duniawi. Apakah anda ingin kaya atau miskin? Pasti ingin kaya. Pintar atau bodoh? Pasti ingin pintar dan seterusnya.

Inilah sebagian dari makna fitrah. Manusia suka dan cenderung kepada kebaikan. Yang menjadi pertanyaannya, apakah kita sudah maksimal untuk meraih makna fitrah tersebut? Apakah kita sudah maksimal untuk meraih surga Allah? Apakah kita sudah maksimal untuk menjadi baik, menjadi kaya dan pintar? Atau hanya sekedar mau tapi tanpa usaha?

Kenyataan yang sering terjadi, kita ingin masuk surga, namun malas beribadah, malas sedekah, malas puasa, dan gemar melakukan dosa. Kita ingin menjadi baik, namun akhlak kita kasar, omongan kita menyakitkan, tindakan kita sering melukai, sama tetangga tidak pernah akur, sesama rekan bisnis saling menjatuhkan. Kita ingin kaya, namun malas usaha, segan bersilaturahmi dan menjalin relasi, takut gagal, ngak pede. Kita ingin pintar, tapi malas membaca, ga punya catatan, apalagi mau ke perpustakaan.

Allah swt telah menitipkan kepada kita semua makna fitrah tersebut. Semua kembali kepada diri pribadi untuk meraihnya. Di balik itu semua, harus ada usaha. Dan di balik itu juga ada kemenangan yang dijanjikan Allah, 'minal a'idin wal fa izin'. Semoga kita semua menjadi hamba-hamba Allah yang selalu mendengarkan bisikan fitrah, dan selalu berusaha untuk meraihnya.

“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS ar-Rum: 30).

Mencintai Karena Allah

|0 komentar
Sebuah rasa cinta lahir dan tumbuh di atas sebuah pondasi yang melatar-belakanginya. Kekuatan cinta tersebut, tentu tergantung dari kekuatan pondasinya. Cinta yang didasarkan atas keindahan dan kecantikan semata, tidak akan bertahan lama. Karena kecantikan dan keindahan akan sirna seiring dengan bertambahnya usia. Kecintaan yang lahir karena harta dan kekayaan akan mudah hilang. Ketika hartanya habis, habis pula cintanya. Begitulah seterusnya. Kecintaan yang dibangun di atas pondasi yang lemah akan mudah hilang.

Berbeda dengan rasa cinta yang dibangun karena Allah. Cinta tersebut akan kekal selamanya. Karena yang mendasari cinta itu adalah Allah yang kekal abadi. Cinta karena Allah tidak akan sirna dengan sirnanya kecantikan sang istri, dia juga tidak akan habis dengan habisnya harta sang suami.

Cinta kepada Allah juga merupakan bentuk cinta yang suci. Cinta yang tidak membabi-buta. Karena cinta karena Allah dipandu oleh aturan-aturan yang telah dibuat oleh Allah. Seorang ayah yang sangat mencintai anaknya, tentu dia akan membela anaknya dengan sepenuh tenaga, rela mempertaruhkan nyawa demi anak tercinta. Namun ketika anak itu melanggar aturan Allah, walaupun cintanya sang ayah kepada anaknya, sang ayah tidak boleh membenarkan perbuatan anak tersebut. Inilah cinta seorang ayah kepada anaknya yang dibangun atas cintanya kepada Allah.

Terkadang kita menemukan seorang bapak yang mendasari cintanya kepada anak hanya karena dasar keduniaan. Sehingga banyak orang tua yang melakukan korupsi hanya karena anaknya ingin dibelikan motor. Rasa cinta ini hanya akan bertahan paling maksimal di dunia. Karena ketika masuk alam akhirat, mereka yang saling mencitai bukan karena Allah, akan saling salah-menyalahkan.

Mencintai karena Allah juga mengandung pengertian bahwa persahabatan keduanya dilakukan karena Allah. Jika salah satu dari mereka berpaling dari tujuan persahabatan yang sebenarnya (mencari ridha Allah), maka dia akan meninggalkannya. (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Fathul Bari : Syarh Shahih Al-Bukhari).

Selain mendapat naungan di sisi Allah pada hari kiamat nanti, orang-orang yang saling mencintai karena Allah juga memiliki kedudukan yang luar biasa di akhirat nanti. Dalam hal ini Rasulallah pernah bersabda:
عن معاذ رضي الله عنه قَالَ : سَمِعْتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم، يقول: قَالَ الله عز وجل: المُتَحَابُّونَ في جَلالِي، لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ. رواه الترمذي

Dari Mu’az RA, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulallah bersabda: “Allah swt berkata, ‘orang-orang yang saling mencintai karena keagunganku, mereka memiliki mimbar dari cahaya, para nabi dan syuhada’ pun iri terhadapa mereka. (HR. At Tirmidzi).

Tobat dan Kegembiraan Allah

|0 komentar
Banyak orang yang bangga dan senang jika lolos dari pengadilan manusia, lolos dari hukuman atas kejahatan yang telah dia lakukan. Sebaliknya, jarang sekali bahkan hampir tidak ada orang yang senang dan bahagia mengakui kenistaan dan kejahatannya di depan pengadilan. “Penjara akan penuh jika orang mengaku maling”, begitu lah istilah yang sering dikampanyekan oleh orang-orang yang masih mau berlama-lama dalam keburukan.

Setiap manusia boleh salah dalam melangkah. Setiap manusia boleh khilaf dalam berucap. Karena kaki tidak selamanya berjalan di atas tanah yang kering, terkadang tergelincir di genangan air atau tersalah menendang batu hingga berdarah.

Namun lagi-lagi sifat manusia, merasa sedih bila kejahatannya terbongkar, padahal kesalahan dan kejahatan yang membuat dia bersedih adalah karena ulah perbuatannya sendiri. Tidak perlu bersedih!!... Yang patut disedihkan adalah apabila kita tidak mau mengakui kesalahan dan tidak mau menyesalkan kesalahan yang pernah kita lakukan.

Mengapa harus bersedih? Tidak ada orang yang marah bila seorang penjahat mengakui kesalahannya dengan penuh kesadaran. Tanpa harus diinterogasi dan ditanya depan-belakang. Bahkan pak polisi akan senang karena dimudahkan dalam melakukan proses penangkapan. Begitu juga dengan pak hakim dan pak jaksa akan mudah melaksanakan tugasnya. Dan tentunya, hukuman akan sedikit dikurangi dengan alasan berkelakuan baik selama dalam masa persidangan.Begitu juga dengan Allah, Dia sangat bahagia dan senang mendengarkan ratapan hambaNya yang mengakui kesalahan.

Dalam sebuah haditsnya, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, rasulallah SAW pernah menceritakan bahwa Allah SWT sangat gembira dengan tobat seorang hamba dari dosa yang dia lakukan.

Rasulallah menggambarkan bahwa kebahagiaan Allah terhadap tobat hambanya lebih dari bahagianya seorang hamba yang mendapati ontanya yang hilang di padang pasir.

Dulu ada seorang musafir yang melakukan perjalanan jauh dengan seekor onta melewati gurun pasir yang sangat luas dan panas. Sangking jauhnya perjalanan, sang musafir merasakan kelelahan yang luar biasa hingga dia jatuh dari ontanya dan pingsan.

Begitu sadar, sang musafir tidak menemukan ontanya. Betapa sedihnya hati sang musafir. Mengapa tidak, karena onta itu lah satu-satunya kendaraan yang dia pergunakan untuk sampai ke tujuan. Lebih-lebih lagi, di atas onta itu lah seluruh perbekalan yang dia bawa. Kesedihan itu semakin sempurna, ketika dia membayangkan bahwa kehidupannya akan berakhir di tengah-tengah gurun pasir yang panas.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, sang musafir sambil terhuyung-huyung mencari ontanya mengikuti kemana kaki melangkah sambil tak henti-henti mulutnya meminta kepada Allah agar dia menemukan ontanya kembali.

Sekian lama dia mencari namun onta tersebut tidak juga didapatkan. Tenaganya semakin melemah, kepalanya berkunang-kunang, sang musafir mulai berputus asa. “Benar, tampaknya aku akan mati di sini”. Gumam sang musafir.

Di tengah-tengah keputus-asaan, tiba-tiba di depannya sudah berdiri dengan tegap onta yang selama ini dia cari. Sang musafir mengusap-usap matanya tidak percaya, barang kali ini hanya lah sekedar fatamorgana yang sering dilihat oleh para musafir di tengah gurun pasir. Dia masih tidak yakin, maka disentunya onta tersebut. Dan benar sekali, onta tersebut bukan lah fatamorgana. Itu adalah ontanya yang hilang tadi.

Dengan kegembiraan yang meluap-luap, sang musafir berkata dengan suara lantang, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku, dan aku adalah tuhanMu”.

Setelah menceritakan cerita ini, rasulallah mengatakan, “musafir itu salah (berkata) karena sangking bahagianya”.

Sangking bahagianya musafir itu tidak sadar kalau dia telah menggantikan kalimat yang semestinya ‘aku adalah hambaMu’ dengan kalimat ‘aku adalah tuhanMu’ dan menggantikan kalimat ‘aku adalah hambamu’ dengan kalimat ‘aku adalah tuhanMu’.

Dapat kita bayangkan betapa besarnya kebahagiaan sang musafir ketika mendapatkan kembali ontanya yang hilang. Karena dia tidak jadi mati kelaparan dan kepanasan di padang pasir. Namun, betapa besarnya kebahagiaan sang musafir yang mendapatkan ontanya kembali, kebahagiaan Allah terhadap tobat hambanya lebih besar bahkan tidak ada yang menandingi kebahagiaanNya.

Begitu juga halnya, ketika pak polisi, pak hakim dan pak jaksa begitu senangnya dengan seorang penjahat yang mengakui kejahatannya, Allah SWT, Zat Yang Maha melihat akan perbuatan kita, lebih besar kebahagianNya, bahkan tidak ada yang menandingi kebahagiaanNya terhadap seorang hamba yang mengakui kesalahan dan kejahatannya karena ingin bertobat dari kesalahan dan kejahatan tersebut.

Lebih baik Allah gembira dengan terbukanya kejahatan kita di hadapan pengadilan manusia, daripada Allah murka dengan penampilan kita sebagai orang yang tidak bersalah di hadapan manusia namun tertunduk malu dan hina di depan pengadilan Allah.

Mengingat Nikmat Allah, Menjauhkan Diri dari Dosa

|0 komentar
Banyak jalan untuk menuju surga Allah, dan tidak sedikit pula cara untuk mendekatkan diri kepadanya. Salah satu di antara sekian banyak cara itu adalah dengan mengingat sumber rizki dan segala karunia yang kita rasakan. Mari kita bertanya kepada hati kecil kita masing-masing, siapa kah pemberi rizki yang selama ini kita nikmati? Secara jujur, tentunya kita akan menjawab, bahwa rizki dan karunia itu semuanya datang dari Allah Yang Maha Kaya dan Maha Pemberi Rizki. Dengan mengingat bahwa rizki itu dari Allah, maka akan muncul rasa malu untuk berbuat kesalahan. Betapa tidak layaknya, ketika Allah selalu berbuat baik kepada kita, sedangkan kita selalu melanggar aturanNya.
Sebenarnya, Allah tidak butuh dengan ibadah kita, Allah tidak butuh dengan shalat kita, puasa kita, zakat kita, haji kita dan segala amal ibadah kita. Bahkan Allah juga tidak butuh dengan ucapan syukur kita. Mengapa? … Allah Maha Kaya, Dia yang memiliki segalanya. Bahkan, sebenarnya kita lah yang butuh kepada Allah, kita lah yang butuh untuk melakukan shalat, melaksanakan puasa, mengeluarkan zakat dan melaksanakan haji dan semua ibadah-ibadah yang lainnya. Kita lah yang butuh untuk bersyukur kepadaNya. Karena Ibadah kita secara umum adalah bekal yang akan kita bawa untuk perjalanan kita menuju jannah Allah.
Namun walau pun demikian, bukan berarti kita bebas untuk tidak melakukan kewajiban dan bebas melakukan kesalahan. Di mana letak rasa keadilan kita dan di mana letak kewarasan kita, jika seseorang selalu berbuat baik kepada kita sedangkan kita tidak pernah berbuat baik kepadanya, bahkan kita balas dengan lemparan kotoran dan caci maki. Secara akal, orang yang bertindak demikian bisa dikatakan sebagai orang yang berpenyakit jiwa.
Mari kita belajar untuk menjauhi perbuatan dosa dengan menyimak pesan yang tersirat dalam percakapan antara Ibrahim bin Adham dan seorang laki-laki yang sering melakukan dosa.
Suatu ketika seorang laki-laki datang kepada Ibrahim bin Adham, lalu berkata, “ Aku adalah seorang hamba yang banyak berbuat dosa, karena itu, tolong nasehati aku”. Lalu Ibrahim menjawab, “Jika kamu berbuat kejahatan, dosa dan maksiat, maka janganlah kamu tinggal di bumi dan makan dari rizki Allah SWT”. Orang itu menjawab, “Kalau begitu, di mana aku harus tinggal dan dari mana aku makan? Semua yang ada di bumi ini adalah pemberian Allah SWT”. Ibrahim berkata, “Kalau begitu, pantaskah kamu berbuat maksiat kepada Allah sedangkan kamu hidup di bumiNya dan makan dari rizkiNya?”
Seorang hamba yang beriman, sejatinya akan selalu takut untuk melakukan perbuatan dosa, hatinya akan bergetar dan seketika merasa lemah ketika dihadapkan pada peluang untuk berbuat jahat. Dalam hal ini, Abu Atahiyah pernah memberikan sebuah tamsil yang patut kita jadikan guru dalam kehidupan, dia berkata “Sesungguhnya orang mukmin ketika melihat dosa-dosanya seakan-akan dia tersesat masuk ke dalam rimba belantara yang penuh dengan binatang buas, sehingga dia merasakan ketakutan yang luar biasa.”
Lain halnya dengan orang-orang yang kurang keimanannya kepada Allah, dosa dan maksiat adalah hal yang lazim dilakukan, tidak ada lagi terbersit di dalam hatinya perasaan bersalah ketika melakukan dosa, bahkan dia akan selalu mencari peluang melakukan dosa dan kesalahan. Abu Atahiyah kemudian melanjutkan tamsilnya, “Adapun orang-orang yang senang melakukan perbuatan maksiat, dosa dan durhaka kepada Allah, bagaikan seekor serigala lapar di padang pasir yang mencium bau bangkai.”
Ini lah kesalahan besar yang sering kita lakukan. Kita terkadang dengan mudahnya mempermainkan hukum Allah SWT, meremehkan ajaran islam, bangga dengan kejahatan, dan melakukan dosa dan kemaksiatan siang dan malam tanpa merasa malu kepada Yang Memberi Rizki.
Jika konsep ini kita bawa dan kita terapkan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air, maka pastilah kita akan menjadi Negara yang paling bersyukur dan taat kepada Allah. Karena betapa besarnya karunia Allah di bumi pertiwi ini, betapa Negara ini diberikan kesuburan tanah yang tiada bandingnya, kekayaan alam yang berlimpah, hasil tambang yang beraneka ragam dan kekayaan laut yang setiap hari diambil tidak ada habis-habisnya. Patut kah kita melakukan dosa di negeri ini, sedangkan Allah telah memberi kita karunia yang tiada terhingga? Mudah-mudahan kita semua tidak mau dikatakan sebagai orang yang berpenyakit jiwa.

Do’a Anak Bangsa

|0 komentar
Bila seorang miskin selalu datang kepada seorang kaya untuk meminta uang dan kebutuhan hidup lainnya. Setiap hari dia selalu menggantungkan kehidupannya kepada orang kaya tersebut. Walaupun orang kaya tersebut memiliki harta yang berlimpah, lama-kelamaan pasti merasa khawatir hartanya akan habis dipinta. Sehingga dia tidak mau lagi mengulurkan tangannya kepada suauaranya yang miskin tersebut.

Kemampuan manusia sangatlah terbatas. Bahkan, bila diberi harta dan kekayaannya pun, harta dan kekayaan tersebut masih tidak mampu mencukupi keperluan hidupnya sehari-hari, selalu merasa kekurangan dan selalu ingin mencari.

Sedangkan Allah, kekuasaannya maha luas, di tanganNya lah semua penciptaan langit dan bumi beserta isinya. kekayaanNya tidak akan habis walaupun habis seluruh makhluq meminta kepadaNya. Bahkan setelah kata habis itu sudah tidak ada lagi, Allah tidak akan pernah melekatkan kata habis dalam kekuasaannya.

Karena kekayaan dan kekuasaanNya yang tidak mengenal kata habis itulah, maka Allah memerintahkan kita untuk meminta kepadaNya. Karena hanya Dia lah yang layak untuk dipinta. Sebaliknya, Allah melarang kita meminta kepada selainNya, yaitu seluruh makhluq ciptaannya di alam semesta ini. Laut, matahari, bulan dan bintang adalah ciptaan-Nya, mereka semua tidak akan bisa mengabulkan semua permintaan. Semua pinta kita hanya akan dikabulkan oleh Allah SWT Yang Maha Mengabulkan semua pinta.

Allah SWT berfirman yang artinya, “Berdo’a lah kepadaku, Aku akan mengabulkannya”.

Sudah diketahui bahwa Shighat Amr (kata perintah) mempunyai implikasi hukum wajib. Artinya wajib mewujudkan atau melaksanakan perbuatan yang diperintahkan. Dalam ayat tadi Allah memerintahkan kita untuk berdo’a atau meminta, bersamaan dengan itu Allah juga memberi kepastian akan mengabulkan do’a yang dipanjatkan hamba-Nya. Artinya, berdo’a adalah kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya dan mengabulkan do’a adalah konsekuensi Tuhan terhadap setiap do’a hamba-Nya.

Namun kensekuensi Allah untuk mengabulkan do’a hamba-Nya juga harus dibarengi dengan konsekuensi hamba ketika berdo’a. Allah tidak serta merta mengabulkan begitu saja semua do’a. Ada syarat-syarat dalam berdo’a sehingga dikabulkan oleh Allah. Bagaikan sebuah kontrak perjanjian tentu ada syarat yang harus dilakukan dan ada syarat yang harus dihindarkan. Jika tidak, maka kontrak perjanjian akan batal.

Di antara syarat yang harus dilakukan adalah mematuhi segala perintah Allah dan beriman kepada-Nya. Allah SWT berfirman, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yangberdo’a bila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendak lah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al Baqarah: 218).

Dan di antara syarat yang harus dijauhi adalah tidak melakukan kerusakan dan dosa di muka bumi, Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap (akan dikabulkan).” (QS Al-a’raf: 56).

Kerusakan di muka bumi yang dilakukan memiliki bentuk yang bermacam-macam. Tidak hanya kerusakan berupa fisik, bahkan kerusakan moral. Bila ditarik dalam konteks kenegaraan, kerusakan moral yang terjadi di Negara ini meliputi praktik korupsi, kolusi, nepotisme, jual beli perkara, mempermainkan hukum, politik uang dan politik hitam, khianat terhadap amanat rakyat, kezoliman terhadap rakyat yang tidak bersalah dan masih banyak lagi kerusakan moral lainnya. Tentunya kerusakan moral lebih berbahaya dari pada kerusakan fisik, karena kerusakan fisik yang terjadi adalah akibat dari kurangnya moral anak bangsa.


Itulah kontrak yang Allah tawarkan sebelum Dia mengabulkan do’a kita. Bangsa ini tidak akan menemui jalan menuju Negara yang setiap hari kita do’akan agar menjadi Negara yang aman dan tentram selama masih banyak kerusakan moral yang kita lakukan terutama orang-orang yang memerintah Negara ini. Negara ini tidak akan bangkit dari keterpurukan dan terhindar dari musibah-musibah selama masih banyak penghianatan terhadap hak-hak orang banyak. kita harus bekerja keras menghilangkan segala penyakit moral yang telah lama menjangkiti Negara ini. Setujukah kita dengan kontrak tersebut? Jika setuju sesungguhnya Allah Maha Menepati Janji.

Allah SWT berfirman, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan”. (QS Al A’raf: 96).

Hidup Bahagia dengan Ridho Orang Tua

|0 komentar
Betapa pun besar pengorbanan seorang anak kepada orang tuanya, semua itu tidak lah bisa melunasi segala jasa dan jerih payah yang telah mereka curahkan kepada kita. Dan betapa pun kita ingin membalas budi baik mereka, balasan kita belum ada bandingnya dengan pengorbanan yang selama ini mereka lakukan. Jasa mereka kepada kita bagaikan sinar sang surya yang tak putus-putusnya menyinari. Jerih payah mereka bagaikan air yang terus mengalir ke hilir. Pengorbanan mereka kepada kita bagaikan jalan yang tanpa akhir, semakin kita telusuri, semakin kita tidak tahu di mana jalan itu berakhir.
Mari sejenak kita pikirkan, adakah di dunia ini seorang wanita yang rela mempertaruhkan nyawa untuk selain dirinya? Pernahkan kita mendengar seorang wanita yang mau menyusui seorang bayi tanpa harus dibayar? Bangun di tengah malam untuk menenangkan bayi itu ketika menangis, membersihkan kotorannya, menggantikan pakaiannya dan merasa sangat sedih dan khawatir ketika bayi tersebut sakit. Dia lah ibu kita yang hingga saat ini tidak pernah lelah memperhatikan dan tidak akan pernah minta balasan.
Pernah juga kah kita mendengar seorang laki-laki yang mau bekerja untuk seseorang tanpa minta digaji? Bukan sebulan, bukan setahun, bahkan bertahun-tahun. Pergi pagi pulang sore bahkan hingga larut malam. Kaki menjadi tangan dan tangan menjadi kaki. Berlumuran keringat di bawah terik matahari, berlomba dengan waktu hanya untuk membesarkan seorang bayi yang ada dalam asuhannya. Dia lah bapak kita yang hingga saat ini tidak pernah lelah untuk berkorban dan tidak pernah minta balasan.
Maka sudah sewajarnya lah kita mentaati kedua ibu-bapak dan bersyukur atas jasa-jasa mereka. Allah SWT telah mengukir perintah untuk taat kepada kedua orang tua di dalam Al Quran. Allah SWT berfirman, “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu-bapaknya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu”. (QS. Luqman: 14).
Saudaraku! Jangan sampai kita menyakiti hati kedua orang tua kita dengan cara apa pun. Mungkin kita tidak pernah melakukan tindakan yang kasar terhadap orang tua kita, karena kita sadar itu adalah perbuatan durhaka. Namun terkadang kita tidak sadar, ada hal-hal yang kita anggap sepele namun dapat menyakiti hati keduanya. Seperti perkataan Ah!.. Aduuuh!.. iiih! … dan lain sebagainya, atau dengan gerakan yang sangat seperti memalingkan muka ketika orang tua sedang berbicara, atau merubah raut wajah dari gaya yang biasanya.
Sederhana memang… namun hal-hal yang sederhana seperti itu lah yang harus kita waspadai, karena sekecil apa pun perbuatan durhaka tetap merupakan perbuatan durhaka. Karenanya Allah mengingatkan kita dalam firmannya dengan contoh perbuatan durhaka yang sangat ringan untuk diucapakan namun bobotnya sama dengan perbuatan durhaka yang lain, Allah SWT berfirman, “Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS. Al Isra’: 23).

Jangan pernah memancing kemurkaan mereka, karena kemurkaan mereka akan menimbulkan kemurkaan Allah SWT. Carilah keridoan mereka, dari ridho keduanya akan muncul keridhoan Allah SWT yang menjadikan kehidupan kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Yang menjadikan kehidupan ini selalu dalam ridho Allah. Tiddak ada hal yang paling dirindukan oleh seorang hamba kecuali selalu hidup dalam lindungan dan ridho-Nya. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Keredhoan Allah terletak pada keredhoan kedua orang tua, dan murka Allah terletak pada murka mereka”. (HR. At Tirmidzi). Kemudian Nabi juga berkata, “Siapa saja yang membuat kedua orang tuanya ridho, maka dia telah membuat Allah ridho kepadanya, dan siapa saja yang membuat kedua orang tuanya murka, maka dia telah membuat Allah murka kepadanya”. (HR. Bukhori).

Memperbarui Iman

|0 komentar
Iman itu adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. [HR. Bukhori ]

Kemuliaan dan keterpujian seseorang berkaitan erat dengan kesungguhannya dalam menambah dan meningkatkan iman. Dan perkarayang paling berpotensi menambah dan menguatkan iman adalah 'ILMU', kemudian AMAL SHALEH dan ZIKRULLAH. Maka tiap kali seorang hamba menambah ilmu dan amal shalehnya berarti dia sedang memperbaharui imannya dan inilah yang dimaksud dengan hadits Rasulallah SAW dalam sabdanya:

جددوا إيمانكم قيل يا رسول الله وكيف نجدد إيماننا قال أكثروا من قول لا إله إلا الله
"Perbaharuilah iman kamu, beliau ditanya: "bagaimana kami memperbaharui iman kami, beliau menjawab: "perbanyaklah mengucapkan kalimat laa ilaaha illallaah." [HR. Ahmad dan Al Hakim]

Allah SWT berfirman yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kamu dengan Allah dan Rasul Nya dan dengan kitab yang telah diturunkan kepada kamu....! [QS. An Nisa: 136]

Perbaharuan iman sangatlah penting bagi setiap muslim. disebabkan kesibukan rutinitas ditambah dengan kesibukan mencari nafkah atau mengurus rumah tangga, kita terkadang tidak sempat lagi "mengurusi" Qolbu kita (Hati). sehingga tidak sadar bahwa hati kita telah menjelma menjadi warna hitam pekat. dipenuhi dengan noda akibat dosa-dosa kecil ataupun berbagai kelalaian yang tidak terasa sering kita lakukan.
Dari Abu Hurairah RA berkat: Rasulallah SAW pernah bersabda:

إن المؤمن إذا أذنب ذنبا كانت نكتة سوداء في قلبه فإن تاب ونزع واستغفر صقل منها قلبه وإن زاد زادت حتى يغلق بها قلبه فذلك الران الذي ذكر الله عز وجل في كتابه كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون
"Sesungguhnya orang mukmin apabila melakukan suatu dosa terbentuklah bintik hitam di dalam hatinya. Apabila ia bertaubat, kemudian menghentikan dosa-dosanya dan beristighfar bersihlah daripadanya bintik hitam itu. Dan apabila dia terus melakukan dosa bertambahlah bintik hitam pada hatinya sehingga tertutuplah seluruh hatinya, itulah karat yang disebutkan Allah di dalam kitab Nya: "Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang mereka usahakan telah menutup hati mereka". [QS. Al Mutaffifin: 14]. [HR. Al Baihaqi]

Imam al Ghazali pernah berkata, " Qolbu itu ibarat cermin. Saat seseorang melakukan dosa/ maksiat, maka ada satu noktah hitam menodai Qolbunya. Semakinbanyak dosa, semakin banyak noktah hitam. Qolbu yang ibarat cermin itu tidak bisa lagi digunakan untuk bercermin; untuk mengaca diri dan mengevaluasi diri. saat demikian, kepekaan spiritual biasanya akan lenyap dari dirinya. jika sudah seperti itu, jangankan dosa kecil apalagi sekedar berbuat makruh daan melakukan hal yang mubah yang melalaikan, dosa besar sekalipun tidak lagi dianggap besar. jangankan meninggalkan yang sunnah, meninggalkan kewajiban pun sudah dianggap biasa. Pasalnya, kepekaan Qolbu sudah nyaris hilang, tidak mampu lagi mendeteksi dosa, apalagi dosa yang dianggap kecil.
Begitulah, Maksiat itu tidak jarang melahirkan maksiat yang lain. Jika sering dikerjakan maka terjadilah akumulasi maksiat. Dosa-dosa kecilpun akhirnya menjadi besar.
Pengabaian perkara ini secara berturut-turut tanpa penanganan serius sering menjadikan kita berkurang kadar keimanan dan amal shaleh. Kehilangan amal batiniah seperti kurang ikhlas ketika beramal, hilang sikap jujur, tidak zuhud, tidak tawakkal, hiang rasa takut kepada Allah, enggan melakukan tobat dan tidak berserah diri kepada Allah. Semua itu terjadi karena kita mengabaikan Qolbu kita. Dalam kondisi demikian boleh jadi ketika kita menyampaikan nasehat kepada orang lain nasehat yang kita sampaikan akan terasa kosong dan tidak bermakna. Boleh jadi ketika kita bersedekah kita mengeluarkannya dengan rasa terpaksa dan takut dikatakan orang bakhil. boleh jadi ketika kita shalat tubuh kita tegap berdiri tetapi pikiran kita melayang-layang di awang-awang. Muncul rasa malas, banyak tidur, menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berfaedah meskipun tidak melakukan perkara yang haram atau makruh dan syubhat.
Jangan sampai kita terjerumus dalam kondisi Qolbu yang seperti ini!....
Jangan sampai kita berlarut-larut dalam gelimang dosa kecil yang bisa membawa kita pada perbuatan dosa besar!....
Saudaraku!... Banyak sarana yang bisa digunakan untuk memperbaharui iman. Sekedar contoh; ziarah kubur, mengunjungi orang-orang shaleh, orang-orang bertakwa, ulama terpercaya, orang-orang yang ikhlas, membaca sekaligus menyelami sejarah nabi dan para sahabat, meningkatkan porsi ibadah, meningkatkan intensitas ibadah-ibadah sunnah, menyendiri pada sebagian waktu untuk merenungkan kehidupan kita dan mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak membaca Al Qur'an, meperbanyak sedekah, qiyamullail, membenci perbuatan maksiat, menghilangkan rasa cinta yang berlebihan kepada dunia, dll.
Biasakanlah untuk menyempatkan diri untuk menyendiri (berkhalwat) dengan diri sendiri; di luar qiyamullail, dan dan membaca Al Qur'an. Disebutkan dalam salah satu atsar bahwa orang yang berakal mempunyai empat waktu. Salah satunya adalah saat ia menyendiri (berkhalwat). Berkhalwat sangat urgen bagi setiap muslim. Dengan berkhalwat ia dapat berduaan dengan Allah, damai dan dekat dengan Nya. Dengan berkhalwat seorang muslim dapat mengevaluasi dirinya. Ketika berkhalwat ia ingat akan dosa-dosa sekaligus menumpahkan air mata penyesalan terhadap dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Semua upaya itu Insya Allah akan mengembalikan kepekaan seorang muslim untuk bribadah kepada Allah dan menjauhi segala bentuk perbuatan dosa. Karena setiap waktu imannya adalah iman yang selalu baru; iman yang semakin menghujam dalam Qolbu. Wama taufiqi illa billah. Wallahu a'lam.

Kejujuran

|0 komentar
Diceritakan ada seorang laki-laki pada zaman dahulu yang selalu berbuat dosa dan maksiat kepada Allah. Dosanya tak kepalang tanggung banyaknya, bila diukur dan ditimbang-timbang mungkin tidak ada lagi takaran dan timbangan yang dapat mengetaui kadar dosanya di muka bumi ini. Pendek kata, jika dipikirkan secara logika, pemuda ini mustahil bisa kembali seperti sedia kala, kembali kepada jalan yang benar, karena saking banyaknya dosa yang dia kerjakan.
Namun suatu hari, muncul juga kesadaran dari pemuda ini untuk memperbaiki diri. Setiap hari dia terus mencoba untuk meninggalkan segala macam perbuatan dosa yang biasa dia kerjakan. Dicobanyalah untuk meninggalkan minum-minuman, namun busa minuman itu sangat menarik hatinya. Begitu juga dengan judi, berzina, mengadu ayam, dan perbuatan-perbuatan dosa yang lainnya, semua itu tidak bisa dia tinggalkan. Usut-punya usut rupanya perbuatan dosa dan maksiat itu sudah menjadi darah dagingnya.
Akhirnya, sang pemuda pergi kepada seorang alim. Sang Alim kemudian memerintahkannya untuk memperbaiki satu saja dari sifat buruk yang ada dalam dirinya, yaitu perbuatan dusta. Dan Sang Alim tersebut menasehatinya agar selalu berbuat jujur dalam kondisi apapun. Kemudian Sang Alim meminta agar pemuda tersebut berjanji kepadanya agar tidak berbohong. Sang Pemuda akhirnya menyanggupi untuk tidak berbohong.
Setelah beberapa lama waktu berlalu, terdetik dalam hati Sang Pemuda untuk minum khamar. Dengan sedikit trik pemerasan akhirnya dia dapatkan minuman yang diinginkan. Lalu khamar itu dituangkan ke dalam sebuah gelas. Ketika dia mengangkat gelas tersebut ke mulutnya, dan hampir saja menyentuh bibirnya, seketika itu juga Sang Pemuda teringat akan janjinya kepada Sang Alim.
“Apa yang akan aku katakan kepadanya jika dia bertanya kepadaku? Apakah aku akan mengatakan bahwa aku sudah meminum khamar? Atau aku akan berdusta kepadanya dengan mengatakan bahwa aku tidak meminumnya?”
Setelah berfikir panjang Sang Pemuda akhirnya mengatakan dalam hatinya, “Aku tidak akan meminumnya”.
Pada hari berikutnya Sang Pemuda ingin melakukan dosa lainnya. Akan tetapi dia teringat lagi akan janjinya kepada Sang Alim agar selalu berbuat jujur dalam segala hal. Lagi-lagi dia mengurungkan niatnya untuk melakukan dosa tersebut. Dan setiap kali Sang Pemuda itu ingin melakukan dosa, dia selalu teringat akan janjinya.
Pada akhirnya, Sang Pemuda terbebas dari segala bentuk dosa dan maksiat yang dahulu sering dilakukannya. Itu semua karena dia selalu menekankan kepada dirinya untuk selalu berbuat jujur.

Atas Dasar Apa Anda Bersedih?

|0 komentar
“Dan sungguh kami akan menguji kamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta benda , kematian dan kekurangan buah-buahan.” (Al Baqoroh:153) “Apakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja untuk mengatakan bahwa mereka telah beriman sedangkan mereka belum diuji.” (Al Ankabut:2).
Seiap orang beriman pasti akan diuji oleh Allah swt dengan berbagai bentuk musibah dan pahitnya kehidupan. Karena di dalam setiap musibah ada mutiara hikmah yang terpendam; sebagai pembuktian ketulusan iman kita kepada Allah swt, peningkatan derajat, terhapusnya dosa-dosa, menyadarkan kita dari kekhilafan dan menyadarkan kita akan kelemahan kita sebagai hamba-Nya.

Sungguh tidak ada yang salah dengan musibah yang datang menimpa. Tidak ada salahnya bersedih karena manusia memang hamba yang lemah. Semua yang terjadi telah digariskan oleh Allah swt. Namun kesalahan kita adalah menyikapi musibah yang datang dengan terus larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Seperti orang yang jatuh lalu tertimpa tangga, begitulah perumpamaan orang-orang yang berlarut-larut dalam kesedihan. Sesungguhnya kesedihan di dalam hati dan perasaan lemah adalah tambahan musibah bagi seseorang yang terimpa musibah.

Cobalah perhatikan kapal layar di lautan! Bukankah kapal layar membutuhkan angin untuk berlayar? Semakin kencang angin bertiup semakin terkembang layar, semakin kencang kapal berlayar. Begiulah sebuah musibah bagi orang yang beriman. Semakin besar musibah yang menerpa, semakin besar keimanan dan kesabarannya dalam dada, semakin cepat kedekatannya kepada Allah swt. Namun angin yang menerpa terkadang tak jarang menenggelamkan kapal apabila sang nahkoda tidak pandai memanfaatkan arah angin. Sebagaimana musibah bisa menenggelamkan seseorang dalam kehancuran dan keputusasaan bila tidak tahu ilmu menghadapi musibah.

Seorang Alim Ibrahim bin Adham dengan sangat bijaksana dan cerdasnya menyadarkan seorang laki-laki yang larut dalam kesedihan. Ketika Ibrahim bin Adham lewat di depan laki-laki itu lalu ia berkata, “Aku ingin bertanya kepadamu tentang tiga hal, maka jawablah olehmu pertanyaan ini! Apakah sebuah benda di dunia ini akan bergerak apabila Allah swt tidak menginginkannya? Apakah rizki yang telah ditaqdirkan oleh Allah bagimu akan berkurang? Atau apakah ajalmu yang telah dituliskan oleh-Nya akan berkurang beberapa saat?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak.” Kemudian Ibrahim bin Adham berkata, “Jadi atas dasar apa kegelisahan dan kesedihan ini?”

Jikalau rizki, usia dan kematian semuanya telah ditentukan oleh Allah swt, lantas atas dasar apa kita bersedih? Tidak ada alasan bagi kita untuk bersedih dan berputus asa atas musibah yang menimpa. Karena musibah adalah mutiara yang mengandung sejuta hikmah bagi orang yang beriman.

Seorang mukmin yang bijak akan menghadapi setiap musibah dengan sikap sabar dan husnuszhon (berbaik sangka kepada Allah). Orang yang senantiasa bersabar, ketika ditimpa musibah tidak berputus asa dan jika mendapatkan kenikmatan tidak hanyut dalam kegembiraan yang berlebihan. Sedangkan sikap husnuszhon adalah modal untuk bangkit kembali dari keterpurukan dan semangat untuk mempersembahkan amal yang terbaik kepada Allah swt. Anggaplah musibah sebagai bentuk koreksi dari Allah swt kepada kita supaya kita berbuat dengan benar.

Allah swt menyebutkan perbedaan sikap yang sangat mencolok antara orang yang sabar dengan orang yang tidak sabar dalam menghadapi musibah dengan firmanNya, “Dan jika kami berikan rahmat kami kepada manusia, kemudian kami cabut kembali pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. Dan jika kami berikan kepadanya kebahagiaan setelah ditimpakan bencana yang menimpanya niscaya dia akan berkata, “telah hilang bencana itu dariku.” Sesungguhnya dia merasa sangat gembira dan bangga. Kecuali orang-orang yang bersabar dan melakukan perbuatan soleh, bagi mereka itulah ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Hud:9-11). Wallahu A'lam.

Menutupi Aib dan Kesalahan

|0 komentar
Manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan serba kekurangan. Kezoliman dan kebodohan akan selalu membayangi setiap langkahnya. Seseorang yang melakukan perbuatan salah dengan sengaja maka dia disebut orang yang zolim. Dan orang yang melakukan kesalahan karena ketidaktahuannya maka dia disebut orang yang bodoh.
Inilah sifat manusia yang disinggung oleh Allah SWT. ketika Allah menawarkan kepada seluruh makhluk untuk menjadi khalifah di muka bumi. Semua menolak amanah tersebut. Semua khawatir dengan beratnya amanah yang akan mereka pikul. Namun kemudian manusia yang lemah menyanggupi amanah tersebut. “Sesungguhnya kami telah menawarkan amanah kepada langit dan bumi dan gunung-gunung tetapi mereka enggan untuk memikulnya dan mereka khawatir tidak bisa memikulnya, kemudian manusia menyanggupi untuk memikul amanah tersebut. Sesungguhnya manusia itu sangatlah zolim lagi bodoh. (Al Ahzab:72).
Karena tabiat manusia yang cendrung untuk melakukan kezoliman dan tindakan bodoh itulah maka kewajiban seorang muslim adalah menutupi aib saudaranya. Boleh jadi seorang melakukan kesalahan atas kebodohan dan kelemahannya atau karena syubhat yang banyak menyebar dimasyarakat sehingga bercampurlah antara hak dan yang batil. Janganlah membuka kesalahan dan aib seseorang apabila hal itu hanya akan mendatangkan celaan dan malu, tidak memberikan kontribusi yang baik bagi masyarakat bahkan hanya menambah daftar orang-orang yang perlu dihina dalam agenda harian masyarakat. Menambah bahan tayang bagi media infotaiment dan media-media gosip. Atau membuat si pelaku akan semakin jauh dari Allah SWT karena merasa dikucilkan dari komunitas orang-orang baik. Atau semakin tertutup hatinya menerima kebenaran karena merasa sudah kepalang tanggung berlumur dengan dosa.
Allah SWT Maha Pengampun bagi hamba Nya yang benar-benar ingin bertobat dan Maha luas kasih sayang Nya pada seluruh hamba Nya. Allah SWT menutupi dosa seorang hamba yang dilakukannya dimalam hari, selama dia tidak membeberkan aibnya tersebut ketika siang datang. Mengapa? Agar dia segera bertobat dari kesalahan itu. Cukuplah itu menjadi jaminan dari Allah bagi seorang hamba yang menutupi aib saudaranya, nanti Allah SWT akan menutupi aibnya juga di Akhirat. “Tidaklah seorang hamba menutupi aurat saudaranya di dunia kecuali nanti Allah akan menutupi auratnya pada hari kiyamat. (HR.Muslim). sebagaimana Allah juga mengancam dengan azab yang pedih bagi orang-orang yang senang dengan tersebarnya aib saudaranya sesama muslim di tengah-tengah masyarakat. “Sesungguhnya orang-orang yang senang dengan menyebarnya kekejian di antara orang-orang beriman bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allahlah Yang Maha Mengetahui sedangkan engkau tidak mengetahui. (An Nur:19).
Kita harus arif dan bijaksana dalam menyikapi aib saudara kita sesama muslim. Rasulullah memerintahkan kita untuk merubah kemungkaran dengan tangan kita atau lisan dan hati. Mulailah dengan melakukan pendekatan pada mereka yang melakukan kesalahan mudah-mudahan dengan pendekatan emosi itu dia akan berubah. Nasehatilah dia untuk meninggalkan kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi. Tutuplah kesalahannya rapat-rapat. Biarlah kesalahan itu hanya menjadi rahasia antara dia dan Allah, supaya kesalahan itu menjadi pukulan yang membangun baginya dikemudian hari. Selama peringatan dan nasehat masih bermanfaat untuk merubah sikap saudara kita yang bersalah maka membeberkan aib seseorang -dengan tujuan islah dan pendidikan bukan untuk memojokkan- menjadi pilihan terakhir bagi sebuah proses perubahan. Tentunya perubahan menuju kebaikan, untuk pelaku sendiri agar dia bertobat dan untuk masyarakat agar tidak terjerumus dalam kejahatan serupa dan terhindar dari kejahatannya. Wallahu A'lam.

Setiap orang memiliki kelebihan

|0 komentar
Seorang ahli bahasa pada suatu hari ingin melakukan perjalanan laut. Dia ingin memberikan pelajaran bahasa kepada anak-anak di sebuah pulau terpencil yang tidak bisa dijangkau kecuali dengan menggunakan kapal kecil. Dengan membawa perbekalan secukupnya dia pergi menuju pelabuhan yang biasa digunakan oleh beberapa nelayan kecil sebagai tempat mangkal.
Sesampai di pelabuhan sang ahli bahasa memilih untuk menumpang di kapal kecil yang dikemudiakan oleh seorang bapak tua yang sudah berkepala lima. Bapak tua itu dari tampangnya tidak pernah mengenyam bangku sekolahan. Dari kecil dia hanya bergelut di seputar laut, kapal dan kayuh. Sehingga wajar jika bahasanya agak sedikit kacau.
Sebelum melepaskan kapalnya dari pelabuhan, bapak tua itu berkata dengan lantangnya, ”ayo, berangkatlah kita!”
Mendengar kalimat yang tidak tersusun rapi dari bapak tua itu, sang ahli bahasa yang merasa telinganya gatal mendengarkan kalimat itu bertanya dengan nada menyindir, ”Hai bapak tua, apakah kamu pernah belajar Gramatika?”
Tidak pernah. ”jawab bapak tua itu polos.
”Kalau begitu kamu sudah menyia-nyiakan separoh hidupmu.” sang ahli bahasa menimpali.
Setelah kapal kecil yang membawa ahli bahasa dan sang bapak tua sudah berlayar jauh ke tengah lautan. Tiba-tiba langit menjadi kelam ditutupi awan hitam. Angin bertiup dengan kencangnya. Ombak laut seperti akan tumpah ke darat. Kapal yang ditumpangi sang ahli bahasa terombang-ambing di antara ombak laut yang ganas. Bahkan air laut pun sudah menggenangi bagian dalam kapal.
Disaat-saat kapal sudah mau terbalik, sang bapak tua bertanya kepada ahli bahasa, ”Apakah kamu pernah belajar berenang?”
”Tidak pernah!” jawab sang ahli bahasa dengan rasa cemas.
”Kalau begitu, hari ini kamu akan kehilangan hidupmu.” sang nelayan tua menimpali sambil melompat dari kapal sebelum kapal tenggelam dihantam ombak lautan.

@@@

Kelebihan yang dimiliki oleh seseorang tidak selamanya ada pada orang lain. Namun bukan berarti orang lain tidak memiliki kelebihan. Sebagaimana Allah menciptakan makhluknya dalam bentuk yang beragam, Allah pula memberikan kelebihan yang beragam pada setiap mereka. Begitulah hakikatnya, bahwa setiap kita memiliki kelebihan masing-masing.
Namun terkadang kelebihan yang ada pada diri kita membuat kita merasa sombong terhadap orang lain. Mengapa? Karena kita hanya melihat kelebihan yang ada pada diri kita. Kita tidak melihat kelebihan yang ada pada orang lain. Seakan-akan kelebihan itu hanya ada pada diri kita. Dan seolah-olah kita tidak memilik kekurangan sedikit pun.
Ingatlah bahwa kesombongan telah mengeluarkan iblis dari sorga. Kesombongan telah meneggelamkan Fir’aun di dalam laut merah. Kesombongan telah menghancur-luluhkan pasukan bergajah Abrahah. Kesombongan Abu Jahal dan Abu Lahab telah menghalangi diri mereka dari hidayah. Karena sombong orang jadi hina. Dijauhi oleh teman, saudara dan keluarga. Karena sombong rahmat Allah yang dirasakan menjadi hilang dan sirna. Karena sombong, Allah jadi murka.
Betapa banyak kebenaran yang kita tolak karena kebenaran itu datang dari seorang yang miskin harta. Berapa banyak kebaikan yang tersia-siakan hanya karena yang memberikan teladan status sosialnya lebih rendah dari kita. Betapa banyak kebenaran yang kita remehkan hanya karena kebenaran itu berasal dari orang yang lebih muda usia. Kesombongan membuat kita selalu menilai orang lain hina dan memandang mereka sebelah mata. Karena kesombongan, betapa banyak waktu yang berlalu dengan sia-sia tanpa tambahan pahala.
Di balik kesombongan ada kekurangan. Secara psikologis kesombongan merupakan sikap untuk menutupi kekurangan dan kelemahan diri. Untuk menutupi kelemahan dan kekurangan itulah seseorang bersikap sombong agar nampak sempurna di mata orang lain. Iblis yang dimurkai Allah menyombongkan diri dihadapan Adam karena dia sadar bahwa dirinya tidak sebanding dengan Adam. Allah SWT mengajarkan kepada Adam semua nama-nama yang ada di dunia ini sedangkan Iblis tidak. Iblis berusaha menutupi kekurangannya dengan mengatakan, “Aku lebih baik dari dia, Engkau (Allah) ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah.”
Kisah terbunuhnya Habil oleh saudaranya sendiri Qobil juga bermula dari kesombongan. Qobil yang merasa dirinya lebih kaya dari Habil tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya ketika Allah menerima kurban milik Habil dan tidak menerima kurban miliknya. Sehingga untuk menutupi kekecewaan itu dia tega membunuh sodaranya sendiri.
Tidak ada yang bisa kita sombongkan karena semua yang ada ini bukan milik kita. Kita terkadang merasa sombong karena ilmu yang kita kuasai. Tapi pernahkah kita sadar, sewaktu dilahirkan kita tidak tahu apa-apa. Kita terlahir tanpa membawa apa-apa. Hanya tangisan diiringi bercak darah. Kita terkadang sombong karena harta yang berlimpah. Karena kita tidak sadar, saat kita meninggal dunia nanti kita tidak membawa apapun seperti dahulu ketika kita lahir ke dunia tanpa memakai sehelai benang pun di badan. Kita terkadang merasa sombong karena ketampanan dan kecantikan yang kita miliki. Orang-orang mengagumi, mengelu-elukan dan menyanjung kita dimanapun dan kapanpun kita berada. Namun dua meter saja kita sudah tidur di dalam tanah, mereka akan pergi meninggalkan jasad kita yang sebentar lagi akan rapuh dimakan cacing dan ulat tanah.
Hanya yang memiliki saja yang boleh sombong di dunia ini. Kita sombong karena kita merasa telah memiliki segalanya; Rumah megah, mobil mewah, berhektar tanah dan sawah, , istri yang cantik lagi solehah, anak-anak dan harta yang melimpah ruah dan semua yang wah-wah. Tapi kita tidak sadar, diri kita sendiri saja bukan milik kita. Inilah contoh yang terdekat, ketika kita tidur ada banyak organ tubuh yang tidak bisa kita suruh tidur, tentu karena mereka bukan milik kita. Jantung kita masih terus berdetak, aliran darah kita masih terus mengalir, paru-paru kita masih tetap bernafas, tangan dan kaki kita terkadang bergerak kemana-mana tanpa kita sadari. Semua organ tubuh itu akan berhenti bekerja jika dimatikan oleh yang punya. Dialah Allah SWT yang Maha Kuasa, Dialah Allah SWT yang Memiliki segalanya dan Dialah satu-satunya yang berhak untuk sombong.
Tidak ada orang yang tidak marah jika haknya diambil oleh orang lain. Sampai-sampai ada orang yang memperkarakan masalah pencaplokan hak ini sampai ke meja hijau. Allah SWT sebagai pencipta alam semesta lebih pantas untuk marah dan murka terhadap orang-orang yang mencaplok hak-Nya. Dalam sebuah hadist Qudsi yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dari Abu Hurairah RA, Allah SWT berkata, “Kesombongan adalah jubahku dan keagungan adalah sarungku, siapa saja yang mengambil dariku salah satu dari keduanya, Aku lemparkan dia ke dalam neraka.”
Untuk menghilangkan sifat sombong di dalam diri, kita harus menanamkan keyakinan bahwa setiap makhluq ciptaan Allah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mungkin kita bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh oang lain. Namun jangan lupa, ada banyak hal yang orang lain bisa kerjakan, kita tidak mampu melakukannya. Ada banyak sifat yang ada pada diri kita dan tidak ada pada diri orang lain. Namun masih banyak lagi sifat yang ada pada orang lain, namun tidak ada pada diri kita.
Imam Syafi’i, walaupun dengan keilmuannya yang luar biasa, dia tidak mengaku sebagai orang yang paling benar. Karena dia sadar bahwa di dalam dirinya masih terdapat kekurangan. Ada banyak kelebihan dalam dirinya, namun dia sadar bahwa masih banyak sekali kelebihan yang ada pada orang lain dan tidak ada pada dirinya. Sikap tawadu’ inilah yang akhirnya membuat Imam Syafi’i pernah berkata, ”Pendapatku benar, namun masih mengandung kesalahan. Dan pendapat orang lain salah, namun mengandung kebenaran.”
Agar kita tidak pernah menyombongkan diri terhadap orang lain, ada baiknya kita terapkan nasehat dari seorang tabiin ternama, Hasan Al Bashri. Dia berkata dalam sebuah nasehatnya, ”Ketika Kamu keluar dari pintu rumahmu, maka janganlah kamu menjumpai seorang muslim pun kecuali kamu melihat bahwa dia memiliki kelebihan atas dirimu.”

Suami yang dicintai Allah

|0 komentar
“Suamiku!... pernahkah engkau mendengar Rasulullah bersabda, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah akan mengujinya.”

Tersebutlah seorang istri yang shalehah di zaman Rasulullah SAW. Dia sangat taat kepada suami dan sangat pula cinta kepadanya. Pada suatu malam sang suami meminta kepada istrinya untuk membuatkan minuman hangat sekedar untuk menghangatkan diri. Namun karena air belum masak maka sang suami harus menunggu hingga air yang dimasak benar-benar matang.
Karena kondisi badan yang sudah mengantuk akhirnya sang suami tertidur di atas kursi makan sambil bersender di atas meja. Tak lama kemudian sang istri membawa minuman yang telah diseduh dari dapur. Namun dia mendapatkan sang suami sudah tertidur pulas. Karena ketaatannya kepada suami akhirnya sang istri terus berdiri di samping sang suami sambil memegang minuman yang telah disediakannya untuk suami tercinta hingga fajar hampir menjelang.
Sebelum fajar sang suami terbangun dari pulasnya. Dia terkejut melihat sang istri berdiri di sampingnya sambil memegang gelas minuman yang sudah dingin. Sang suami bertanya, “Sejak kapan kau berdiri disini istriku?”
“Sejak tadi malam.” Jawab sang istri dengan nada pelan.
“Aku khawatir akan menggangu istirahatmu bila aku membangunkanmu, dan aku juga takut jika engkau bangun kau tidak mendapatkan minuman yang kamu pinta. Karena itulah aku berdiri disini, kalau-kalau saja kau bangun di tengah malam, namun kau baru bangun sekarang.”
Sang suami sangat terharu mendengar penuturan yang lembut dari istrinya. Di dalam hati dia sangat bersyukur kepada Allah telah dikaruniai istri yang sangat taat kepada suami lagi baik budinya. “Istriku, pintalah apa saja dariku, aku akan mengabulkannya. ini adalah hadiah dariku atas kebaikan hatimu kepadaku.”
Tanpa berfikir panjang lagi, sang istri mengutarakan keinginannya, “Baiklah suamiku, karena engkau telah berjanji akan mengabulkan apa saja yang aku pinta, maka aku akan meminta satu permintaan saja kepadamu, tidak lebih.”
“Apa itu istriku, sebutkanlah!” pinta sang suami tidak sabaran.
“Ceraikan aku sekarang juga!” ….Pinta sang istri dengan tegas.
Bagai disambar petir di siang bolong, sang suami tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Hatinya sangat kecewa. Hancur lebur seperti serpihan kaca yang pecah. Dia tidak menyangka istrinya akan meminta sesuatu yang berada di luar dugaannya.
Karena tidak menerima permintaan istrinya, sang suami akhirnya mengajak sang istri bersama-sama pergi menghadap kepada Rasulullah untuk mengadukan permasalahan itu.
Di dalam perjalanan, sang suami terjatuh kedalam sebuah lubang yang agak dalam sehingga kaki kanannya patah. Sang suami merintih menahan perih. Darah mengucur dari patahan tulang yang menyembul di permukaan kulitnya. Dengan dibantu sang istri, akhirnya dia bisa keluar dari lubang.
Dengan keadaan yang tidak memungkinkan untuk berjalan, sang suami masih bersikeras untuk menghadap rasulullah. Namun sang istri memapahnya untuk berbalik arah pulang ke rumah.
“mengapa kau memapahku pulang kembali kerumah?” Tanya sang suami keheranan dengan sikap istrinya. “bukankah kau tadi ingin diceraikan?...Ayo, bawa aku menghadap rasulullah!” pinta sang suami kepada istrinya dengan sedikit memaksa.
“Aku tidak mau diceraikan.” Jawab sang istri sambil terus memapah sang suami pulang.
“Ada apa denganmu?... dengan kondisiku yang cacat seperti sekarang ini, seharusnya kau lebih punya alasan untuk minta diceraikan. Aku sekarang hanyalah seorang suami yang hanya bisa duduk di atas kursi. Tidak bisa berkuda lagi. Aku hanya bisa berjalan dengan dibantu oleh sebatang kayu. Apakah kau masih mau bersuami sepertiku yang cacat ini?”
“cukup… cukup sumiku!” Sang istri menghentikan jalannya.
Kedua pasang anak manusia itu untuk sesaat terpaku dalam diam. Angin gurun yang panas tidak mereka hiraukan. Kedua-duanya bergulat dalam pikiran masing-masing. Sementara sang suami semakin perih merasakan lukanya.
“Suamiku!... pernahkah engkau mendengar Rasulullah bersabda, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah akan mengujinya.”
Sang suami tidak mengerti apa yang dimasudkan oleh istrinya. “Apa yang kau maksudkan?”
“Suamiku!...Dulu, sebelum aku meminta diceraikan, Engkau hidup senang, semua yang engkau inginkan tersedia. Engkau tidak pernah mendapatkan ujian dari Allah sehingga Aku menyangka Engkau adalah seorang hamba yang tidak dicintai oleh Allah. Aku tidak mau memiliki suami yang tidak dicintai oleh Allah. Tapi sekarang aku yakin, Engkau adalah hamba yang dicintai oleh Allah. Allah mencintaimu dengan memberikan ujian ini kepadamu. Betapa besar pahala yang nanti akan aku dapatkan dengan mengabdikan diri kepada seorang suami yang dicintai Allah. Suamiku!... Aku akan semakin cinta kepadamu, dan Aku akan mendampingimu hingga akhir hayatmu.”
(terlepas dari kesohihan cerita ini, setidaknya kita bisa mengambil pelajaran yang bermanfaat darinya).

Kenikmatan Yang Terlupakan

|0 komentar





وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ وَ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا يُصِيْبُ المُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَ لاَ وَصَبٍ
وَ لاَ هَمٍّ وَ لاَ حُزْنٍ وَ لاَ أَذًى وَ لاَ غَمٍّ, حَتىَّ الشَوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Artinya:
Dari Abi sa’id dan Abi Hurairah RA dari Nabi SAW beliau bersabda, tidaklah seorang muslim ditimpa oleh keletihan, penyakit yang teus-menerus, kegundahan, kesedihan, sesuatu yang menyakitkan, dan kesusahan bahkan apabila duri menusuknya maka dengannya Allah akan menghapus sebagian dari dosa-dosanya. (HR. Bukhori dan Muslim)

Saudaraku,
Manusia di dunia ini tidak mungkin selalu merasakan kesenangan dan kenikmatan. Tetapi dunia ini bagaikan sebuah bola yang terus berputar, ada kalanya bola itu berputar ke bawah, ada kalanya dia berputar ke atas. Terkadang kita merasakan kegembiraan dan pada waktu yang lain kita merasakan kesedihan. Kita ditimpa oleh musibah-musibah yang bertubi-tubi. Mulai dari musibah yang menimpa badan dan jasmani kita, perasaan kita, keluarga kita, masyarakat kita bahkan musibah bangsa secara umum. Itulah sunnah kehidupan yang harus kita lalui di dunia ini.
Musibah bisa datang dalam berbagai bentuk. Musibah tidak identik dengan musibah yang menimpa fisik seseorang. Ada musibah yang menimpa perasaan. Bahkan musibah ini terasa lebih berat ketimbang musibah fisik seperti luka, kebakaran dan lain-lain. Jika tangan terluka maka banyak obat yang bisa kita beli, tapi bila hati terluka maka kemana obat hendak dicari. Begitulah kata pepatah lama.

Saudaraku,

Walaupun musibah yang menimpa seorang muslim datang secara bertubi-tubi, tapi seorang muslim yang baik, selalu melihat segala hal yang terjadi sebagai sebuah kebaikan yang datangnya dari Allah. Jika dia mendapatkan kebaikan, maka kebaikan itu baik baginya, dan jika dia ditimpa sebuah musibah, maka musibah itu merupakan sebuah kebaikan baginya.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?.. inilah pertanyaan yang setiap individu harus mengetahui jawabannya. Musibah dan kebaikan di sisi Allah adalah sebuah kenikmatan. Itulah jawabannya.
Saudaraku!
Perlu kita pahami dengan baik, kenikmatan itu bentuknya tidaklah satu, yaitu berupa sesuatu yang menyenangkan hati. Sering terjadi, apabila seorang teman mendapatkan kenikmatan seperti mendapatkan tambahan gaji, mendapatkan bonus THR atau bahkan tiba-tiba saja mendapatkan uang segepok dan lain-lain, kita katakan itu adalah kenikmatan baginya yang datang dari Allah. Nasibnya mujur, beruntung sekali dia! Allah memberkahinya. Namun ketika kita mendengar seorang teman yang masuk rumah sakit, karena perutnya seperti dililit-lilit dan sakitnya pasti bukan kepalang sakit. Berhari-hari dia mendiami ranjang rumah sakit, kita katakan ini adalah sebuah azab baginya karena dia telah melakukan ini dan itu. Paling kurang kita mengatakan ini adalah sebuah cobaan baginya.
Kita tidak pernah mengatakan musibah yang datang adalah sebagai nikmat dari Allah. Musibah yang minimpa pada dasarnya merupakan penghapus dosa yang pernah kita lakukan. Semakin banyak musibah yang kita rasakan, semakin dahsyat kepedihannya maka semakin banyak pula dosa-dosa kita yang dihapuskan.
Saudaraku!

Bukankah ini merupakan sebuah kenikmatan yang besar?...

Terhapusnya sebagian dosa kita karena penyakit, luka, kesedihan, rasa was-was, berarti beberapa langkah kita telah menjauh dari pintu neraka dan telah beberapa langkah kita mendekat ke pintu sorga. Tidak ada sebuah kenikmatan yang sangat didamba-dambakan seorang hamba yang berdosa kecuali rahmat Allah agar Ia menghapuskan dosa-dosa yang pernah dia lakukan. Dan salah satu penghapus dosa adalah musibah yang kita rasakan di dunia ini. Mari kita robah persepsi kita terhadap musibah. Katakanlah musibah sebagai sebuah kenikmatan, agar kita selalu Positif Thinking kepada Allah dan mendapatkan pengampunan dosa karena sebuah musibah.

Dari Abi sa’id dan Abi Hurairah RA dari Nabi SAW beliau bersabda, tidaklah seorang muslim ditimpa oleh keletihan, penyakit yang terus-menerus, kegundahan, kesedihan, sesuatu yang menyakitkan, dan kesusahan bahkan apabila duri menusuknya maka dengan (musibah-musibah itu) Allah akan menghapus sebagian dari dosa-dosanya. (HR. Bukhori dan Muslim)


Kenikmatan Yang Terlupakan

|0 komentar

Manusia di dunia ini tidak mungkin selalu merasakan kesenangan dan kenikmatan. Tetapi dunia ini bagaikan sebuah bola yang terus berputar, ada kalanya bola itu berputar ke bawah, ada kalanya dia berputar ke atas. Terkadang kita merasakan kegembiraan dan pada waktu yang lain kita mersakan kesedihan. Kita ditimpa oleh musibah-musibah yang bertubi-tubi. Mulai dari musibah yang menimpa badan dan jasmani kita, perasaan kita, keluarga kita, masyarakat kita bahkan musibah bangsa secara umum. Itulah sunnah kehidupan yang harus kita lalui di dunia ini.
Musibah bisa datang dalam berbagai bentuk. Musibah tidak identik dengan musibah yang menimpa fisik seseorang. Ada musibah yang menimpa perasaan. Bahkan musibah ini terasa lebih berat ketimbang musibah fisik seperti luka, kebakaran dan lain-lain. Jika tangan terluka maka banyak obat yang bisa kita beli, tapi bila hati terluka maka kemana obat hendak dicari. Begitulah kata pepatah lama.

Saudaraku,

Walaupun musibah yang menimpa seorang muslim datang secara bertubi-tubi, tapi seorang muslim yang baik, selalu melihat segala hal yang terjadi sebagai sebuah kebaikan yang datangnya dari Allah. Jika dia mendapatkan kebaikan, maka kebaikan itu baik baginya, dan jika dia ditimpa sebuah musibah, maka musibah itu merupakan sebuah kebaikan baginya.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?.. inilah pertanyaan yang setiap individu harus mengetahui jawabannya. Musibah dan kebaikan di sisi Allah adalah sebuah kenikmatan. Itulah jawabannya.
Saudaraku!
Perlu kita pahami dengan baik, kenikmatan itu bentuknya tidaklah satu, yaitu berupa sesuatu yang menyenangkan hati. Sering terjadi, apabila seorang teman mendapatkan kenikmatan seperti mendapatkan tambahan gaji, mendapatkan bonus THR, dan lain-lain, kita katakan itu adalah kenikmatan baginya yang datang dari Allah. Nasibnya mujur, Allah memberkahinya. Namun ketika kita mendengar seorang teman yang masuk rumah sakit, sakitnya pun parah dan berhari-hari dia mendiami ranjang rumah sakit, kita katakan ini adalah sebuah azab baginya karena dia telah melakukan ini dan itu. Paling kurang kita mengatakan ini adalah sebuah cobaan baginya.
Kita tidak pernah mengatakan musibah yang datang adalah sebagai nikmat dari Allah. Musibah yang minimpa pada dasarnya merupakan penghapus dosa yang pernah kita lakukan. Semakin banyak musibah yang kita rasakan, semakin dahsyat kepedihannya maka semakin banyak pula dosa-dosa kita yang dihapuskan.
Saudaraku!

Bukankah ini merupakan sebuah kenikmatan yang besar?...

Terhapusnya sebagian dosa kita karena penyakit, luka, kesedihan, rasa was-was, berarti beberapa langkah kita telah menjauh dari pintu neraka dan telah beberapa langkah kita mendekat ke pintu sorga. Tidak ada sebuah kenikmatan yang sangat didamba-dambakan seorang hamba yang berdosa kecuali rahmat Allah agar Ia menghapuskan dosa-dosa yang pernah dia lakukan. Dan salah satu penghapus dosa adalah musibah yang kita rasakan di dunia ini. Mari kita robah persepsi kita terhadap musibah. Katakanlah musibah sebagai sebuah kenikmatan, agar kita selalu Positif Thinking kepada Allah dan mendapatkan pengampunan dosa karena sebuah musibah.


Dari Abi sa’id dan Abi Hurairah RA dari Nabi SAW beliau bersabda, tidaklah seorang muslim ditimpa oleh keletihan, penyakit yang terus-menerus, kegundahan, kesedihan, sesuatu yang menyakitkan, dan kesusahan bahkan apabila duri menusuknya maka dengan (musibah-musibah itu) Allah akan menghapus sebagian dari dosa-dosanya. (HR. Bukhori dan Muslim)

Balaslah dengan yang lebih baik

|0 komentar
Siapa yang tidak marah jika dirinya dikatakan yang tidak-tidak. Tidak ada orang yang tidak kesal bila rahasia pribadinya diacak-acak orang. Dan tidak ada orang yang tahan bila dirinya dihina, direndahkan dan dijelek-jelekkan, apalagi di hadapan orang banyak. Dalam menapaki kehidupan ini tentunya hal semacam itu akan sering kita rasakan dan kita alami. Kedengkian dari orang-orang yang mendengki, kebencian dari orang-orang yang iri hati akan selalu muncul disetiap langkah kita menuju puncak keberhasilan.
Sejarah para nabi telah membuktikan hal itu. Risalah dakwah yang mereka sampaikan tak pernah sepi dari caci maki dan olok-olokan kaumnya. Nabi Nuh AS dikatakan sebagai orang yang sesat karena membangun kapal diatas bukit. Nabi Ibrahim AS diancam akan dirajam oleh bapaknya sendiri dan dikatakan sebagai orang yang keluar dari agama nenek moyang. Nabi Hud AS dikatakan sebagai orang yang hilang akalnya dan seorang pendusta karena mengajak kaum Aad yang diberikan kekuatan fisik yang luar biasa kepada tauhid. Nabi Musa AS dikatakan sebagai anak yang tidak membalas budi oleh Fir’aun. Nabi Isa AS dikatakan sebagai anak haram. Bahkan nabi Muhammad SAW tak sedikit mendapatkan ancaman dan cacian dari paman-pamannya sendiri.
Tidak ada yang membedakan antara kita dengan para nabi. Hanya wahyu sajalah yang membedakan antara kita dengan mereka, selebihnya mereka adalah manusia biasa, sama seperti kita. Hati mereka pun bisa terluka, mulutnya pun wajar mengeluh, mata mereka bahkan tak jarang basah karena sedih. Sangat manusiawi. Namun dengan iman yang tinggi mereka mampu melaluinya dengan baik. Bahkan dengan akhlaq yang mereka tampilkan tak jarang lawan berubah menjadi kawan.
Kadangkala celaan terhadap diri kita bisa menjadi kekuatan yang membangun. Tergantung kita menyikapinya. Banyak orang yang bisa melihat kesalahan dirinya, menyadari setiap jengkal sisi jelek dalam jiwanya namun tak sedikit pula orang yang tidak mampu melihat kesalahan dan aib yang bercokol dalam dirinya sendiri. Seorang teman yang baik biasanya tidak tega menyebutkan aib temannya. Maka orang yang iri kepadanyalah yang pertama kali menunjukkan kesalahan dan aib dirinya. Lalu mengapa kita harus marah dan kesal terhadap ungkapan-ungkapan mereka. Jika yang mereka katakan benar terdapat dalam diri kita maka itu adalah nasehat bagi kita untuk memperbaiki diri. Pabila hal itu tidak benar dan mengada-ada maka cukuplah tuduhan itu menjadi penghapus dosa-dosa yang pernah kita lakukan.
Jika seekor anjing menggonggongimu didepan pagar rumah, apakah kamu akan berhenti dan balas menggongginya? Jika seekor anjing menggigitmu, apakah kamu akan menggigitnya juga? Jawabannya tentu tidak. Jika anjing menggonggong tentu kita akan terus berjalan agar sang anjing diam dengan sendirinya. Dan jika anjing menggigit tentu kita tidak akan membalasnya dengan gigitan serupa. Karena jika kita menggigitnya berarti tidak ada lagi bedanya antara kita dengan anjing.
Begitu juga halnya dengan orang yang mencaci kita. Tidak ada gunanya kita membalas cacian dengan cacian serupa atau membalas tuduhan dengan tuduhan yang mengada-ada. Karena ketika kita membalas satu kejelekan dengan kejelekan berarti kita telah membariskan diri kita sejajar dengan barisan mereka. Tidak ada lagi yang membedakan kita dengan mereka.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Maka maafkanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS.Al Hijr:85). “Dan orang-orang yang menahan kemarahannya dan memaafkan kesalahan orang. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS.Ali Imron:134). di dalam ayat ini Allah SWT mengajarkan kita untuk membalas kejahatan dengan kebaikan, memaafkan kesalahan walaupun sulit sekali untuk dilakukan. Karena kebaikan yang kita tampilkan adalah air yang mampu memadamkan api permusuhan. “ Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS.Fushilat:34-35). Wallahu a’lam bis sowaab.

Hasad

|0 komentar

Ketika Allah SWT memerintahkan seluruh malaikat yang berada di langit untuk sujud kepada Adam, semua bersujud kepadanya kecuali Iblis. Iblis yang sudah terjangkiti sifat hasad enggan mentaati perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Bahkan Iblis berusaha memutar-balikkan fakta agar dia tidak dipersalahkan karena sikapnya. Ketika Allah bertanya kepadanya, “Dia berkata, apa yang menghalangimu untuk bersujud ketika Aku memerintahkanmu? (Iblis) berkata, “Aku lebih baik darinya (Adam). Engkau ciptakan aku dari api dan engkau ciptakan dia dari tanah.”Tidak ada yang menghalangi Iblis untuk sujud kepada Adam kecuali rasa hasad dan iri dengki. Inilah dosa pertama kepada Allah yang dilakukan di langit.

Sejarah ummat manusia juga mencatat bahwa Hasad pulalah yang menyebabkan terjadinya dosa pertama yang dilakukan oleh anak Adam di permukaan bumi. Ketika Qobil dengan perasaan penuh iri dan dengki tega membunuh saudaranya Habil karena Allah SWT menerima persembahan milik Habil. Allah SWT berfirman yang artinya, “ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".(QS.Al Maidah:7)

Hasad berarti menginginkan hilangnya kenikmatan yang ada pada orang lain dan usaha untuk menghilangkannya. Betapa hinanya sikap ini sehinga para ulama mengatakan, “orang pelit itu bakhil dengan harta yang dimilikinya sendiri sedangkan orang yang hasad bakhil kepada orang lain dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya.” Bisakah anda membayangkan bagaimana seseorang bakhil dengan sesuatu yang tidak ada. Orang yang hasad ia bakhil dengan cara menghalangi orang lain dari nikmat Allah SWT. Segala cara akan ditempuhnya. Cara halal dan haram tidak lagi dihiraukan. Tujuannya hanyalah satu, agar kenikmatan Allah hilang dan sirna dari orang yang dihasudinya. Jiwanya akan selalu berkobar dengan api amarah selama kenikmatan Allah masih ada pada orang lain. Dan dia tidak akan pernah istirahat hingga dia bisa menyakiti dan merusak kenikmatan yang ada pada orang tersebut.

Hasad merupakan teman kekufuran dan musuh kebenaran. Dari sifat hasad bermula sebuah permusuhan, putusnya hubungan silaturahim, pecahnya suatu keluarga, kelompok, masyarakat bahkan Negara. Hasad merusak agama seseorang, melemahkan keyakinan, menumbuhkan rasa was-was, mengusik ketenangan dan menyebabkan mata tidak mampu terlelap dikala malam.

Betapa banyak kebenaran tertutupi karena sifat hasad. Orang yang memiliki kelebihan tersisihkan. Jika ada kebaikannya segera ditutup-tutupi. Bila ada kejelekannya disebarkan pada semua orang. Dan jika tidak mendapatkan kejelekan darinya berusaha untuk membuat suatu kedustaan agar hilang nikmat Allah darinya.

Dampak yang paling berbahaya dari sifat hasad adalah hilangnya pahala kebaikan orang yang terjangkiti sikap ini tanpa ia sadari. Kita tidak boleh meremehkan sekecil apapun rasa hasad yang ada dalam diri kita, karena sekecil apapun percikan api mampu membakar tumpukan jerami dan setitik nila mampu merusak susu sebelanga. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jauhilah olehmu sikap hasad, karena hasad mampu memakan pahala kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.

Beberapa ulama salaf berkata, “ada lima akibat yang akan didapati orang hasad; kesedihan yang tak pernah berkhir, musibah yang tidak diberikan pahala atasnya, celaan, murka Allah dan ditutup baginya pintu taufik.

Orang yang hasad pada dasarnya telah berbuat zolim pada orang lain. Namun pada saat yang bersamaan dia juga terzolimi oleh sifatnya sendiri. Seorang Arab badui pernah berkomentar, “Aku tidak pernah melihat seorang yang zolim lebih menyerupai orang yang dizolimi melainkan orang yang hasad. Dia melihat kenikmatan Allah pada diri anda seperti sebuah bencana pada dirinya.”

Mengambil Pelajaran dari Hinaan orang

|0 komentar

Jika seekor anjing menggonggongimu di depan sebuah rumah mewah, apakah kamu akan balas menggonggonginya juga? Jika seekor anjing menggigitmu, apakah kamu akan menggigitnya sebagaimana dia menggigitmu? Jawaban yang bijaksana dan paling tepat adalah ‘tidak.’ Jika anjing menggonggong tentu kita akan terus berjalan agar sang anjing diam sendiri dari gonggongannya. Dan jika anjing menggigit tentu kita tidak akan membalasnya dengan gigitan serupa. Karena jika kita menggigitnya berarti tidak ada lagi bedanya antara anjing dengan kita.

Tidak ada orang yang marah jika dirinya dikatakan yang bukan-bukan. Tidak ada orang yang tidak merasa kesal pabila rahasia pribadinya diacak-acak orang. Dan tidak ada pula orang yang tahan bila dirinya dihina, direndahkan dan dijelek-jelekkan apalagi dihadapan orang banyak. Dalam menapaki kehidupan tentu situasi semacam ini akan kita rasakan, bahkan mungkin saat ini kita sedang merasakannya. Kedengkian dari orang-orang yang mendengki, kebencian orang-orang yang iri hati akan selalu muncul di setiap langkah kita menuju puncak keberhasilan.

Sejarah para nabi telah membuktikan. Risalah dakwah yang mereka sampaikan tak pernah sepi dari caci-maki dan olok-olokan kaumnya. Nabi Nuh AS dikatakan sebagai orang yang sesat karena membangun kapal di atas bukit. Nabi Hud dikatakan sebagai orang yang hilang akalnya dan seorang pendusta karena mengajak kaum Ad yang diberikan kekuatan fisik yang luar biasa kepada ajaran tauhid. Nabi Musa AS dikatakan sebagai anak angkat yang tidak tahu membalas budi oleh Firaun. Nabi Ibrahim diancam akan dirajam oleh ayahnya sendiri. Nabi Isa AS dikatakan sebagai anak haram oleh kaumnya. Bahkan Nabi Muhammad SAW pun tak sedikit mendapatkan ancaman dan cacian dari paman-pamannya sendiri.

Tidak ada yang membedakan antara kita dengan para nabi. Hanya wahyu saja yang membedakan antara kita dengan mereka. Selebihnya mereka adalah manusia biasa. Sama seperti kita. Hati mereka bisa terluka. Mulut mereka wajar mengeluh. Mata mereka pun tak jarang bersimbah air mata karena sedih. Sangat manusiawi. Namun dengan iman yang tinggi mereka mampu melaluinya dengan baik. Bahkan tak jarang, dengan kesabarannya menghadapi hinaan, banyak lawan berubah menjadi kawan.

Kadang kala celaan terhadap diri kita bisa menjadi kekuatan yang membangun. Sebagian orang ada yang memiliki kemampuan introspeksi diri yang tinggi. Dia bisa melihat kesalahan dan aib dalam dirinya tanpa pemberitahuan dari orang lain. Karena dia memiliki sifat taqwa yang selalu menjaganya dari perbuatan dosa. Setiap kali dia melakukan kesalahan setiap kali itu pulalah mulutnya mengucapakan kalimat istigfar dan menyesali dosa kepada Allah. Setiap kali kakinya tersandung dosa secara reflek mulutnya mengaduh mengucapkan namaNya.

Namun banyak juga tipe manusia yang tidak bisa melihat kesalahan yang ada pada dirinya. Dia hanya bisa melihat kesalahan orang lain namun tak bisa melihat aib diri sendiri. pepatah moderen mengatakan, “Gajah diseberang lautan tampak, tahi mata di sudut mata tidak tampak.” Artinya, kita dengan enaknya bisa melihat benda-benda yang jaraknya jauh. Kita bisa melihat benda-benda itu dengan langsung. Kita dengan leluasanya bisa mengomentari setiap yang kita lihat. Ini hitam itu biru, ini pendek dan itu tinggi.. Tapi ketika ada tahi mata disudut mata, kita baru mengetahuinya setelah diberitahukan oleh cermin yang memantulkan gampar wajah kita yang asli.

Seorang teman dekat terkadang segan untuk membuka aib dalam diri kita. Takut apabila dia menceritakan aib tersebut akan menyebabkan renggangnya persahabatan. Maka orang yang iri kepada kitalah yang akan menunjukkan kesalahan dan aib diri kita.

Lalu mengapa kita harus marah dan kesal terhadap ungkapan-ungkapan mereka. Jika hal itu benar maka anggaplah dia sebagai nasehat bagi kita untuk memperbaiki diri. Pabila hal itu tidak benar dan mengada-ada maka cukuplah tuduhan mereka menjadi penghapus dosa-dosa yang pernah kita lakukan.

Tidak ada gunanya kita membalas cacian dengan cacian serupa, atau membalas tuduhan dengan tuduhan yang mengada-ada. Karena ketika kita membalas sebuah kejelekan dengan kejelekan yang sama berarti kita telah membariskan diri kita sejajar dengan mereka. Tidak ada lagi yang membedakan antara kita dengan mereka.

Mengingat Allah Hati Akan Tenang

|0 komentar
Hati adalah organ tubuh manusia yang sangat penting. Hati itu tak ubahnya seperti sebuah besi, dia akan berkarat apabila lama tak bertemu asahan atau lama bercampur dengan udara lembab. Hati adalah tanaman hijau yang membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya sebaliknya tumbuhan itu akan layu dan mati bila tidak mendapatkan air. Sedangkan manusia sang pemilik hati itu selalu dikelilingi oleh musuh dalam kehidupannya. Nafsu amarahnya yang selalu membawanya pada kehancuran, begitu juga dengan nafsu dan syetan selalu mengiringinya dan selalu siap sedia menggodanya disetiap kesempatan. Sehingga untuk membendung serangan-serangan itu manusia harus membentengi hatinya dengan Zikr kepada Allah SWT.
Sesungguhnya seseorang hamba tidak akan pernah melakukan segala jenis dosa baik dosa besar maupun dosa kecuali dia berada dalam keadaan lalai dalam mengingat Allah. Kelalaian adalah pintu gerbang bagi syetan untuk masuk kedalam hati manusia. Ketika seseorang lalai dalam mengingat Allah syetan akan menguasai dirinya dengan mudah. Sehingga dia terjerumus kedalam perbuatan-perbuatan dosa yang menjadi sumber dari segala sumber kegelisahan dan kesengsaraan itu. Allah SWT telah menyatakan hal ini dengan jelas dalam firmanNya,
“Dan siapa saja yang berpaling dari peringatanku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan kami akan menghimpunnya dalam neraka dalam keadaan buta.”(Thaaha:124).
Lalu mengapakah kita terkadang masih merasakan gelisah yang tidak menentu padahal setelah sholat kita selalu berzikir kepada Allah? Sesungguhnya zikir itu tidak hanya terbatas dilakukan sehabis sholat sebagaimana yang biasa kita lakukan. Kemudian selepas sholat kita lupa dengan Allah yang maha perkasa dalam membolak-balikkan hati. Lupa dengan perintahnya kemudian terjerumus kedalam lembah larangannya. Sesungguhnya zikir adalah selalu mengingat Allah dalam situasi apapun. Susah dan senang selalu menyertakan Allah di dalamnya. Inilah ciri-ciri orang yang beruntung dan mendapatkan ketenangan hati yang disebutkan Allah dalam firmannya, “Dan banyak-banyaklah mengingat Allah supaya kamu memperoleh keberuntungan.” (Al Anfaal:45). Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Dan laki-laki dan wanita yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab:35).
Imam ibnu Taimiyah memberikan gambaran yang sangat indah terhadap urgensi zikir bagi hati. Dia berkata, “Zikr bagi hati bagaikan air bagi ikan, maka bagaimanakah keadaan ikan apabila berpisah dari air?”
Imam Hasan Al Basri pernah berucap, “ Carilah kenikmatan iman pada tiga hal; dalam sholat, zikr dan membaca Al Qur’an. Jika kamu mendapatkannya (maka beruntunglah kamu) jika tidak maka ketahuilah bahwa pintu kebaikan telah tertutup.”
Dzikr adalah kehidupan bagi hati dan kelapangan dada. Dia adalah tempat mengadu dikala derita dan tempat berbagi dikala suka. Sebesar apapun beban yang dipikul akan terasa ringan jika selalu mengingat Allah. Karena kita yakin bahwa Allah SWT tidaklah memberikan cobaan yang berada diluar kemampuan hambanya. Dengan membiasakan hati berzikir kepada Allah akan membuat hati ini merasa aman dari segala bentuk kegelisahan dan kejahatan makhlukNya. Dikala kita terus mengingatNya disaat itulah hati kita akan dipenuhi oleh perasaan tenang karena segala yang terjadi merupakan skenario Allah SWT atas hambanya sedangkan kewajiban kita hanyalah menjalani skenario itu dengan baik. Ingatlah selalu akan firman Allah yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenang.(Ar Ra’du:28)

Kematian Membentuk Manusia Yang Cerdas

|0 komentar
Betapa banyak wajah-wajah yang kita temui dalam keadaan segar bugar keesokan harinya sudah terbaring pucat dengan berselimut kafan. Betapa keramaian sebuah negeri dipagi yang cerah hilang seketika digulung lautan. Ratusan bahkan ribuan nyawa melayang dalam hitungan menit. Betapa malam yang sunyi disebuah desa berubah menjadi ladang tangisan dan ratapan atas tubuh-tubuh yang tertimpa reruntuhan. Kematian tak pernah mengetuk pintu. Kematian tak memandang tempat dan waktu. Kematian adalah sebuah kepastian. Kematian tidak memandang pangkat dan jabatan. Tua-muda miskin-kaya ajalnya masing-masing telah ditentukan. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian. Kemudian hanyalah kepada kami kamu dikembalikan.” (QS.Al Ankabuut:57).
Puluhan jenazah telah kita sholatkan. Kita antarkan ke kuburnya. Kita masukkan ke dalam lahat yang gelap dan sempit. Kita uruk mereka dengan tanah. Semua mata menangisi kepergian mereka tapi sadarkah bahwa akan tiba saatnya kitapun akan diusung dan dimasukkan kedalam lubang sempit itu sambil diiringi tangisan sanak saudara. Hanya di tangan Allah lah rahasia kepastian itu. “Dan tiada seorangpun dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tidak ada seorangpun dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.Luqman:34)
Setiap diri haruslah menancapkan dalam dirinya tentang pastinya kematian. Seorang yang cerdas, cukuplah baginya kematian sebagai pemberi nasehat dan peringatan. Bagaimana tidak, kematian itu telah menancapkan perasaan was-was dalam dirinya akankah dia menemui ajalnya dalam keadaan husnul khotimah. Tak ada lagi kata-kata ‘nanti’ dalam bertobat. Begitu diri jatuh tersungkur dalam kubangan maksiat langsung berdiri dan membersihkan diri. Tak ada lagi kata-kata malas dalam beribadat ketika dia melihat waktu keberangkatan telah dekat sedangkan perbekalan belumlah diikat. Tak ada kata sia-sia dalam beramal karena dia yakin segala amal kebaikannya akan menemaninya menjemput ajal. Rasulullah SAW pernah bersabda: “orang yang cerdas adalah orang yang memuhasabahi dirinya dan melakukan sesuatu untuk hidup setelah mati.” (HR.At Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Nabi SAW pernah berkata kepada Ibnu Umar, “Jadilah di dunia ini seakan-akan engkau adalah orang asing atau seorang pengembara.” Kemudian Ibnu Umar berkata, “Jika engkau berada pada sore hari maka janganlah engkau menunggu-nunggu pagi, jika engkau berada pada pagi hari janganlah engkau menunggu-nunggu sore. Ambillah (bekal) dari sehatmu untuk sakitmu dan dari hidupmu untuk matimu.” (HR. Bukhori).
Sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk selalu memuhasabahi diri atas rentang waktu yang telah dilaluinya. Apa yang telah diperbuatnya selama rentang waktu itu? Sudahkah dia benar-benar melaksanakan perintah Allah dan sudahkah dia benar-benar menjauhi laranganNya? Karena ketika maut menjemput tak akan ada lagi gunanya penyesalan, kesedihan dan tangisan. Ketika waktu itu tiba tidak ada yang bakal menolong kecuali amal kebaikan. Sehingga untuk mendulang sebanyak-banyaknya amal kebaikan itu manusia haruslah cerdas memanfaatkan setiap detik yang tersisa dari jatah umurnya di dunia ini.

Berbekallah dengan takwa sungguh kau tidak tahu
Bila malam hadir esok hari masihkah ada waktu
Tua-muda miskin-kaya kematian tak pandang bulu
Jangan lengah karena waktu terus memburu
Dengan langkah pasti kematian terus merajut kafanmu