Mengambil Pelajaran dari Hinaan orang

Jika seekor anjing menggonggongimu di depan sebuah rumah mewah, apakah kamu akan balas menggonggonginya juga? Jika seekor anjing menggigitmu, apakah kamu akan menggigitnya sebagaimana dia menggigitmu? Jawaban yang bijaksana dan paling tepat adalah ‘tidak.’ Jika anjing menggonggong tentu kita akan terus berjalan agar sang anjing diam sendiri dari gonggongannya. Dan jika anjing menggigit tentu kita tidak akan membalasnya dengan gigitan serupa. Karena jika kita menggigitnya berarti tidak ada lagi bedanya antara anjing dengan kita.

Tidak ada orang yang marah jika dirinya dikatakan yang bukan-bukan. Tidak ada orang yang tidak merasa kesal pabila rahasia pribadinya diacak-acak orang. Dan tidak ada pula orang yang tahan bila dirinya dihina, direndahkan dan dijelek-jelekkan apalagi dihadapan orang banyak. Dalam menapaki kehidupan tentu situasi semacam ini akan kita rasakan, bahkan mungkin saat ini kita sedang merasakannya. Kedengkian dari orang-orang yang mendengki, kebencian orang-orang yang iri hati akan selalu muncul di setiap langkah kita menuju puncak keberhasilan.

Sejarah para nabi telah membuktikan. Risalah dakwah yang mereka sampaikan tak pernah sepi dari caci-maki dan olok-olokan kaumnya. Nabi Nuh AS dikatakan sebagai orang yang sesat karena membangun kapal di atas bukit. Nabi Hud dikatakan sebagai orang yang hilang akalnya dan seorang pendusta karena mengajak kaum Ad yang diberikan kekuatan fisik yang luar biasa kepada ajaran tauhid. Nabi Musa AS dikatakan sebagai anak angkat yang tidak tahu membalas budi oleh Firaun. Nabi Ibrahim diancam akan dirajam oleh ayahnya sendiri. Nabi Isa AS dikatakan sebagai anak haram oleh kaumnya. Bahkan Nabi Muhammad SAW pun tak sedikit mendapatkan ancaman dan cacian dari paman-pamannya sendiri.

Tidak ada yang membedakan antara kita dengan para nabi. Hanya wahyu saja yang membedakan antara kita dengan mereka. Selebihnya mereka adalah manusia biasa. Sama seperti kita. Hati mereka bisa terluka. Mulut mereka wajar mengeluh. Mata mereka pun tak jarang bersimbah air mata karena sedih. Sangat manusiawi. Namun dengan iman yang tinggi mereka mampu melaluinya dengan baik. Bahkan tak jarang, dengan kesabarannya menghadapi hinaan, banyak lawan berubah menjadi kawan.

Kadang kala celaan terhadap diri kita bisa menjadi kekuatan yang membangun. Sebagian orang ada yang memiliki kemampuan introspeksi diri yang tinggi. Dia bisa melihat kesalahan dan aib dalam dirinya tanpa pemberitahuan dari orang lain. Karena dia memiliki sifat taqwa yang selalu menjaganya dari perbuatan dosa. Setiap kali dia melakukan kesalahan setiap kali itu pulalah mulutnya mengucapakan kalimat istigfar dan menyesali dosa kepada Allah. Setiap kali kakinya tersandung dosa secara reflek mulutnya mengaduh mengucapkan namaNya.

Namun banyak juga tipe manusia yang tidak bisa melihat kesalahan yang ada pada dirinya. Dia hanya bisa melihat kesalahan orang lain namun tak bisa melihat aib diri sendiri. pepatah moderen mengatakan, “Gajah diseberang lautan tampak, tahi mata di sudut mata tidak tampak.” Artinya, kita dengan enaknya bisa melihat benda-benda yang jaraknya jauh. Kita bisa melihat benda-benda itu dengan langsung. Kita dengan leluasanya bisa mengomentari setiap yang kita lihat. Ini hitam itu biru, ini pendek dan itu tinggi.. Tapi ketika ada tahi mata disudut mata, kita baru mengetahuinya setelah diberitahukan oleh cermin yang memantulkan gampar wajah kita yang asli.

Seorang teman dekat terkadang segan untuk membuka aib dalam diri kita. Takut apabila dia menceritakan aib tersebut akan menyebabkan renggangnya persahabatan. Maka orang yang iri kepada kitalah yang akan menunjukkan kesalahan dan aib diri kita.

Lalu mengapa kita harus marah dan kesal terhadap ungkapan-ungkapan mereka. Jika hal itu benar maka anggaplah dia sebagai nasehat bagi kita untuk memperbaiki diri. Pabila hal itu tidak benar dan mengada-ada maka cukuplah tuduhan mereka menjadi penghapus dosa-dosa yang pernah kita lakukan.

Tidak ada gunanya kita membalas cacian dengan cacian serupa, atau membalas tuduhan dengan tuduhan yang mengada-ada. Karena ketika kita membalas sebuah kejelekan dengan kejelekan yang sama berarti kita telah membariskan diri kita sejajar dengan mereka. Tidak ada lagi yang membedakan antara kita dengan mereka.

0 komentar:

Posting Komentar