Tobat dan Kegembiraan Allah

Banyak orang yang bangga dan senang jika lolos dari pengadilan manusia, lolos dari hukuman atas kejahatan yang telah dia lakukan. Sebaliknya, jarang sekali bahkan hampir tidak ada orang yang senang dan bahagia mengakui kenistaan dan kejahatannya di depan pengadilan. “Penjara akan penuh jika orang mengaku maling”, begitu lah istilah yang sering dikampanyekan oleh orang-orang yang masih mau berlama-lama dalam keburukan.

Setiap manusia boleh salah dalam melangkah. Setiap manusia boleh khilaf dalam berucap. Karena kaki tidak selamanya berjalan di atas tanah yang kering, terkadang tergelincir di genangan air atau tersalah menendang batu hingga berdarah.

Namun lagi-lagi sifat manusia, merasa sedih bila kejahatannya terbongkar, padahal kesalahan dan kejahatan yang membuat dia bersedih adalah karena ulah perbuatannya sendiri. Tidak perlu bersedih!!... Yang patut disedihkan adalah apabila kita tidak mau mengakui kesalahan dan tidak mau menyesalkan kesalahan yang pernah kita lakukan.

Mengapa harus bersedih? Tidak ada orang yang marah bila seorang penjahat mengakui kesalahannya dengan penuh kesadaran. Tanpa harus diinterogasi dan ditanya depan-belakang. Bahkan pak polisi akan senang karena dimudahkan dalam melakukan proses penangkapan. Begitu juga dengan pak hakim dan pak jaksa akan mudah melaksanakan tugasnya. Dan tentunya, hukuman akan sedikit dikurangi dengan alasan berkelakuan baik selama dalam masa persidangan.Begitu juga dengan Allah, Dia sangat bahagia dan senang mendengarkan ratapan hambaNya yang mengakui kesalahan.

Dalam sebuah haditsnya, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, rasulallah SAW pernah menceritakan bahwa Allah SWT sangat gembira dengan tobat seorang hamba dari dosa yang dia lakukan.

Rasulallah menggambarkan bahwa kebahagiaan Allah terhadap tobat hambanya lebih dari bahagianya seorang hamba yang mendapati ontanya yang hilang di padang pasir.

Dulu ada seorang musafir yang melakukan perjalanan jauh dengan seekor onta melewati gurun pasir yang sangat luas dan panas. Sangking jauhnya perjalanan, sang musafir merasakan kelelahan yang luar biasa hingga dia jatuh dari ontanya dan pingsan.

Begitu sadar, sang musafir tidak menemukan ontanya. Betapa sedihnya hati sang musafir. Mengapa tidak, karena onta itu lah satu-satunya kendaraan yang dia pergunakan untuk sampai ke tujuan. Lebih-lebih lagi, di atas onta itu lah seluruh perbekalan yang dia bawa. Kesedihan itu semakin sempurna, ketika dia membayangkan bahwa kehidupannya akan berakhir di tengah-tengah gurun pasir yang panas.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, sang musafir sambil terhuyung-huyung mencari ontanya mengikuti kemana kaki melangkah sambil tak henti-henti mulutnya meminta kepada Allah agar dia menemukan ontanya kembali.

Sekian lama dia mencari namun onta tersebut tidak juga didapatkan. Tenaganya semakin melemah, kepalanya berkunang-kunang, sang musafir mulai berputus asa. “Benar, tampaknya aku akan mati di sini”. Gumam sang musafir.

Di tengah-tengah keputus-asaan, tiba-tiba di depannya sudah berdiri dengan tegap onta yang selama ini dia cari. Sang musafir mengusap-usap matanya tidak percaya, barang kali ini hanya lah sekedar fatamorgana yang sering dilihat oleh para musafir di tengah gurun pasir. Dia masih tidak yakin, maka disentunya onta tersebut. Dan benar sekali, onta tersebut bukan lah fatamorgana. Itu adalah ontanya yang hilang tadi.

Dengan kegembiraan yang meluap-luap, sang musafir berkata dengan suara lantang, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku, dan aku adalah tuhanMu”.

Setelah menceritakan cerita ini, rasulallah mengatakan, “musafir itu salah (berkata) karena sangking bahagianya”.

Sangking bahagianya musafir itu tidak sadar kalau dia telah menggantikan kalimat yang semestinya ‘aku adalah hambaMu’ dengan kalimat ‘aku adalah tuhanMu’ dan menggantikan kalimat ‘aku adalah hambamu’ dengan kalimat ‘aku adalah tuhanMu’.

Dapat kita bayangkan betapa besarnya kebahagiaan sang musafir ketika mendapatkan kembali ontanya yang hilang. Karena dia tidak jadi mati kelaparan dan kepanasan di padang pasir. Namun, betapa besarnya kebahagiaan sang musafir yang mendapatkan ontanya kembali, kebahagiaan Allah terhadap tobat hambanya lebih besar bahkan tidak ada yang menandingi kebahagiaanNya.

Begitu juga halnya, ketika pak polisi, pak hakim dan pak jaksa begitu senangnya dengan seorang penjahat yang mengakui kejahatannya, Allah SWT, Zat Yang Maha melihat akan perbuatan kita, lebih besar kebahagianNya, bahkan tidak ada yang menandingi kebahagiaanNya terhadap seorang hamba yang mengakui kesalahan dan kejahatannya karena ingin bertobat dari kesalahan dan kejahatan tersebut.

Lebih baik Allah gembira dengan terbukanya kejahatan kita di hadapan pengadilan manusia, daripada Allah murka dengan penampilan kita sebagai orang yang tidak bersalah di hadapan manusia namun tertunduk malu dan hina di depan pengadilan Allah.

0 komentar:

Posting Komentar