Siapa yang tidak marah jika dirinya dikatakan yang tidak-tidak. Tidak ada orang yang tidak kesal bila rahasia pribadinya diacak-acak orang. Dan tidak ada orang yang tahan bila dirinya dihina, direndahkan dan dijelek-jelekkan, apalagi di hadapan orang banyak. Dalam menapaki kehidupan ini tentunya hal semacam itu akan sering kita rasakan dan kita alami. Kedengkian dari orang-orang yang mendengki, kebencian dari orang-orang yang iri hati akan selalu muncul disetiap langkah kita menuju puncak keberhasilan.
Sejarah para nabi telah membuktikan hal itu. Risalah dakwah yang mereka sampaikan tak pernah sepi dari caci maki dan olok-olokan kaumnya. Nabi Nuh AS dikatakan sebagai orang yang sesat karena membangun kapal diatas bukit. Nabi Ibrahim AS diancam akan dirajam oleh bapaknya sendiri dan dikatakan sebagai orang yang keluar dari agama nenek moyang. Nabi Hud AS dikatakan sebagai orang yang hilang akalnya dan seorang pendusta karena mengajak kaum Aad yang diberikan kekuatan fisik yang luar biasa kepada tauhid. Nabi Musa AS dikatakan sebagai anak yang tidak membalas budi oleh Fir’aun. Nabi Isa AS dikatakan sebagai anak haram. Bahkan nabi Muhammad SAW tak sedikit mendapatkan ancaman dan cacian dari paman-pamannya sendiri.
Tidak ada yang membedakan antara kita dengan para nabi. Hanya wahyu sajalah yang membedakan antara kita dengan mereka, selebihnya mereka adalah manusia biasa, sama seperti kita. Hati mereka pun bisa terluka, mulutnya pun wajar mengeluh, mata mereka bahkan tak jarang basah karena sedih. Sangat manusiawi. Namun dengan iman yang tinggi mereka mampu melaluinya dengan baik. Bahkan dengan akhlaq yang mereka tampilkan tak jarang lawan berubah menjadi kawan.
Kadangkala celaan terhadap diri kita bisa menjadi kekuatan yang membangun. Tergantung kita menyikapinya. Banyak orang yang bisa melihat kesalahan dirinya, menyadari setiap jengkal sisi jelek dalam jiwanya namun tak sedikit pula orang yang tidak mampu melihat kesalahan dan aib yang bercokol dalam dirinya sendiri. Seorang teman yang baik biasanya tidak tega menyebutkan aib temannya. Maka orang yang iri kepadanyalah yang pertama kali menunjukkan kesalahan dan aib dirinya. Lalu mengapa kita harus marah dan kesal terhadap ungkapan-ungkapan mereka. Jika yang mereka katakan benar terdapat dalam diri kita maka itu adalah nasehat bagi kita untuk memperbaiki diri. Pabila hal itu tidak benar dan mengada-ada maka cukuplah tuduhan itu menjadi penghapus dosa-dosa yang pernah kita lakukan.
Jika seekor anjing menggonggongimu didepan pagar rumah, apakah kamu akan berhenti dan balas menggongginya? Jika seekor anjing menggigitmu, apakah kamu akan menggigitnya juga? Jawabannya tentu tidak. Jika anjing menggonggong tentu kita akan terus berjalan agar sang anjing diam dengan sendirinya. Dan jika anjing menggigit tentu kita tidak akan membalasnya dengan gigitan serupa. Karena jika kita menggigitnya berarti tidak ada lagi bedanya antara kita dengan anjing.
Begitu juga halnya dengan orang yang mencaci kita. Tidak ada gunanya kita membalas cacian dengan cacian serupa atau membalas tuduhan dengan tuduhan yang mengada-ada. Karena ketika kita membalas satu kejelekan dengan kejelekan berarti kita telah membariskan diri kita sejajar dengan barisan mereka. Tidak ada lagi yang membedakan kita dengan mereka.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Maka maafkanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS.Al Hijr:85). “Dan orang-orang yang menahan kemarahannya dan memaafkan kesalahan orang. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS.Ali Imron:134). di dalam ayat ini Allah SWT mengajarkan kita untuk membalas kejahatan dengan kebaikan, memaafkan kesalahan walaupun sulit sekali untuk dilakukan. Karena kebaikan yang kita tampilkan adalah air yang mampu memadamkan api permusuhan. “ Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS.Fushilat:34-35). Wallahu a’lam bis sowaab.
Sejarah para nabi telah membuktikan hal itu. Risalah dakwah yang mereka sampaikan tak pernah sepi dari caci maki dan olok-olokan kaumnya. Nabi Nuh AS dikatakan sebagai orang yang sesat karena membangun kapal diatas bukit. Nabi Ibrahim AS diancam akan dirajam oleh bapaknya sendiri dan dikatakan sebagai orang yang keluar dari agama nenek moyang. Nabi Hud AS dikatakan sebagai orang yang hilang akalnya dan seorang pendusta karena mengajak kaum Aad yang diberikan kekuatan fisik yang luar biasa kepada tauhid. Nabi Musa AS dikatakan sebagai anak yang tidak membalas budi oleh Fir’aun. Nabi Isa AS dikatakan sebagai anak haram. Bahkan nabi Muhammad SAW tak sedikit mendapatkan ancaman dan cacian dari paman-pamannya sendiri.
Tidak ada yang membedakan antara kita dengan para nabi. Hanya wahyu sajalah yang membedakan antara kita dengan mereka, selebihnya mereka adalah manusia biasa, sama seperti kita. Hati mereka pun bisa terluka, mulutnya pun wajar mengeluh, mata mereka bahkan tak jarang basah karena sedih. Sangat manusiawi. Namun dengan iman yang tinggi mereka mampu melaluinya dengan baik. Bahkan dengan akhlaq yang mereka tampilkan tak jarang lawan berubah menjadi kawan.
Kadangkala celaan terhadap diri kita bisa menjadi kekuatan yang membangun. Tergantung kita menyikapinya. Banyak orang yang bisa melihat kesalahan dirinya, menyadari setiap jengkal sisi jelek dalam jiwanya namun tak sedikit pula orang yang tidak mampu melihat kesalahan dan aib yang bercokol dalam dirinya sendiri. Seorang teman yang baik biasanya tidak tega menyebutkan aib temannya. Maka orang yang iri kepadanyalah yang pertama kali menunjukkan kesalahan dan aib dirinya. Lalu mengapa kita harus marah dan kesal terhadap ungkapan-ungkapan mereka. Jika yang mereka katakan benar terdapat dalam diri kita maka itu adalah nasehat bagi kita untuk memperbaiki diri. Pabila hal itu tidak benar dan mengada-ada maka cukuplah tuduhan itu menjadi penghapus dosa-dosa yang pernah kita lakukan.
Jika seekor anjing menggonggongimu didepan pagar rumah, apakah kamu akan berhenti dan balas menggongginya? Jika seekor anjing menggigitmu, apakah kamu akan menggigitnya juga? Jawabannya tentu tidak. Jika anjing menggonggong tentu kita akan terus berjalan agar sang anjing diam dengan sendirinya. Dan jika anjing menggigit tentu kita tidak akan membalasnya dengan gigitan serupa. Karena jika kita menggigitnya berarti tidak ada lagi bedanya antara kita dengan anjing.
Begitu juga halnya dengan orang yang mencaci kita. Tidak ada gunanya kita membalas cacian dengan cacian serupa atau membalas tuduhan dengan tuduhan yang mengada-ada. Karena ketika kita membalas satu kejelekan dengan kejelekan berarti kita telah membariskan diri kita sejajar dengan barisan mereka. Tidak ada lagi yang membedakan kita dengan mereka.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Maka maafkanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS.Al Hijr:85). “Dan orang-orang yang menahan kemarahannya dan memaafkan kesalahan orang. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS.Ali Imron:134). di dalam ayat ini Allah SWT mengajarkan kita untuk membalas kejahatan dengan kebaikan, memaafkan kesalahan walaupun sulit sekali untuk dilakukan. Karena kebaikan yang kita tampilkan adalah air yang mampu memadamkan api permusuhan. “ Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS.Fushilat:34-35). Wallahu a’lam bis sowaab.
0 komentar:
Posting Komentar