“Dan sungguh kami akan menguji kamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta benda , kematian dan kekurangan buah-buahan.” (Al Baqoroh:153) “Apakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja untuk mengatakan bahwa mereka telah beriman sedangkan mereka belum diuji.” (Al Ankabut:2).
Seiap orang beriman pasti akan diuji oleh Allah swt dengan berbagai bentuk musibah dan pahitnya kehidupan. Karena di dalam setiap musibah ada mutiara hikmah yang terpendam; sebagai pembuktian ketulusan iman kita kepada Allah swt, peningkatan derajat, terhapusnya dosa-dosa, menyadarkan kita dari kekhilafan dan menyadarkan kita akan kelemahan kita sebagai hamba-Nya.
Sungguh tidak ada yang salah dengan musibah yang datang menimpa. Tidak ada salahnya bersedih karena manusia memang hamba yang lemah. Semua yang terjadi telah digariskan oleh Allah swt. Namun kesalahan kita adalah menyikapi musibah yang datang dengan terus larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Seperti orang yang jatuh lalu tertimpa tangga, begitulah perumpamaan orang-orang yang berlarut-larut dalam kesedihan. Sesungguhnya kesedihan di dalam hati dan perasaan lemah adalah tambahan musibah bagi seseorang yang terimpa musibah.
Cobalah perhatikan kapal layar di lautan! Bukankah kapal layar membutuhkan angin untuk berlayar? Semakin kencang angin bertiup semakin terkembang layar, semakin kencang kapal berlayar. Begiulah sebuah musibah bagi orang yang beriman. Semakin besar musibah yang menerpa, semakin besar keimanan dan kesabarannya dalam dada, semakin cepat kedekatannya kepada Allah swt. Namun angin yang menerpa terkadang tak jarang menenggelamkan kapal apabila sang nahkoda tidak pandai memanfaatkan arah angin. Sebagaimana musibah bisa menenggelamkan seseorang dalam kehancuran dan keputusasaan bila tidak tahu ilmu menghadapi musibah.
Seorang Alim Ibrahim bin Adham dengan sangat bijaksana dan cerdasnya menyadarkan seorang laki-laki yang larut dalam kesedihan. Ketika Ibrahim bin Adham lewat di depan laki-laki itu lalu ia berkata, “Aku ingin bertanya kepadamu tentang tiga hal, maka jawablah olehmu pertanyaan ini! Apakah sebuah benda di dunia ini akan bergerak apabila Allah swt tidak menginginkannya? Apakah rizki yang telah ditaqdirkan oleh Allah bagimu akan berkurang? Atau apakah ajalmu yang telah dituliskan oleh-Nya akan berkurang beberapa saat?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak.” Kemudian Ibrahim bin Adham berkata, “Jadi atas dasar apa kegelisahan dan kesedihan ini?”
Jikalau rizki, usia dan kematian semuanya telah ditentukan oleh Allah swt, lantas atas dasar apa kita bersedih? Tidak ada alasan bagi kita untuk bersedih dan berputus asa atas musibah yang menimpa. Karena musibah adalah mutiara yang mengandung sejuta hikmah bagi orang yang beriman.
Seorang mukmin yang bijak akan menghadapi setiap musibah dengan sikap sabar dan husnuszhon (berbaik sangka kepada Allah). Orang yang senantiasa bersabar, ketika ditimpa musibah tidak berputus asa dan jika mendapatkan kenikmatan tidak hanyut dalam kegembiraan yang berlebihan. Sedangkan sikap husnuszhon adalah modal untuk bangkit kembali dari keterpurukan dan semangat untuk mempersembahkan amal yang terbaik kepada Allah swt. Anggaplah musibah sebagai bentuk koreksi dari Allah swt kepada kita supaya kita berbuat dengan benar.
Allah swt menyebutkan perbedaan sikap yang sangat mencolok antara orang yang sabar dengan orang yang tidak sabar dalam menghadapi musibah dengan firmanNya, “Dan jika kami berikan rahmat kami kepada manusia, kemudian kami cabut kembali pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. Dan jika kami berikan kepadanya kebahagiaan setelah ditimpakan bencana yang menimpanya niscaya dia akan berkata, “telah hilang bencana itu dariku.” Sesungguhnya dia merasa sangat gembira dan bangga. Kecuali orang-orang yang bersabar dan melakukan perbuatan soleh, bagi mereka itulah ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Hud:9-11). Wallahu A'lam.
Sungguh tidak ada yang salah dengan musibah yang datang menimpa. Tidak ada salahnya bersedih karena manusia memang hamba yang lemah. Semua yang terjadi telah digariskan oleh Allah swt. Namun kesalahan kita adalah menyikapi musibah yang datang dengan terus larut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Seperti orang yang jatuh lalu tertimpa tangga, begitulah perumpamaan orang-orang yang berlarut-larut dalam kesedihan. Sesungguhnya kesedihan di dalam hati dan perasaan lemah adalah tambahan musibah bagi seseorang yang terimpa musibah.
Cobalah perhatikan kapal layar di lautan! Bukankah kapal layar membutuhkan angin untuk berlayar? Semakin kencang angin bertiup semakin terkembang layar, semakin kencang kapal berlayar. Begiulah sebuah musibah bagi orang yang beriman. Semakin besar musibah yang menerpa, semakin besar keimanan dan kesabarannya dalam dada, semakin cepat kedekatannya kepada Allah swt. Namun angin yang menerpa terkadang tak jarang menenggelamkan kapal apabila sang nahkoda tidak pandai memanfaatkan arah angin. Sebagaimana musibah bisa menenggelamkan seseorang dalam kehancuran dan keputusasaan bila tidak tahu ilmu menghadapi musibah.
Seorang Alim Ibrahim bin Adham dengan sangat bijaksana dan cerdasnya menyadarkan seorang laki-laki yang larut dalam kesedihan. Ketika Ibrahim bin Adham lewat di depan laki-laki itu lalu ia berkata, “Aku ingin bertanya kepadamu tentang tiga hal, maka jawablah olehmu pertanyaan ini! Apakah sebuah benda di dunia ini akan bergerak apabila Allah swt tidak menginginkannya? Apakah rizki yang telah ditaqdirkan oleh Allah bagimu akan berkurang? Atau apakah ajalmu yang telah dituliskan oleh-Nya akan berkurang beberapa saat?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak.” Kemudian Ibrahim bin Adham berkata, “Jadi atas dasar apa kegelisahan dan kesedihan ini?”
Jikalau rizki, usia dan kematian semuanya telah ditentukan oleh Allah swt, lantas atas dasar apa kita bersedih? Tidak ada alasan bagi kita untuk bersedih dan berputus asa atas musibah yang menimpa. Karena musibah adalah mutiara yang mengandung sejuta hikmah bagi orang yang beriman.
Seorang mukmin yang bijak akan menghadapi setiap musibah dengan sikap sabar dan husnuszhon (berbaik sangka kepada Allah). Orang yang senantiasa bersabar, ketika ditimpa musibah tidak berputus asa dan jika mendapatkan kenikmatan tidak hanyut dalam kegembiraan yang berlebihan. Sedangkan sikap husnuszhon adalah modal untuk bangkit kembali dari keterpurukan dan semangat untuk mempersembahkan amal yang terbaik kepada Allah swt. Anggaplah musibah sebagai bentuk koreksi dari Allah swt kepada kita supaya kita berbuat dengan benar.
Allah swt menyebutkan perbedaan sikap yang sangat mencolok antara orang yang sabar dengan orang yang tidak sabar dalam menghadapi musibah dengan firmanNya, “Dan jika kami berikan rahmat kami kepada manusia, kemudian kami cabut kembali pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. Dan jika kami berikan kepadanya kebahagiaan setelah ditimpakan bencana yang menimpanya niscaya dia akan berkata, “telah hilang bencana itu dariku.” Sesungguhnya dia merasa sangat gembira dan bangga. Kecuali orang-orang yang bersabar dan melakukan perbuatan soleh, bagi mereka itulah ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Hud:9-11). Wallahu A'lam.
0 komentar:
Posting Komentar