Kerinduan Sang Telaga Bening

Oleh: Aini Aryani
“Mbak Elvi nggak pulang lagi idul fitri ini? “.
“Iya, Mit. Soalnya materi-materi yang belum disampaikan masih banyak. Apalagi bentar lagi UAS.” paparnya. Kuhembuskan nafas sebal, lalu mencoba hubungi Mas Arya.
“Assalamualaikum… lebaran tahun ini Mas pulang ke Indonesia ya. Kan udah hampir tujuh tahun nggak pulang.”
“Nggak janji, Dek. Tiap akhir Ramadhan aku harus ke Mekah meliput sholat Idul Fitri. Tapi, insya Allah aku usahain deh.” jawabnya. Lagi-lagi aku menghela nafas.
Beginilah kalau punya kakak-kakak super sibuk. Mbak Elvi seorang dosen di Universitas Samratulangi, Manado. Lima tahun lamanya belum pernah pulang. Sedang Mas Arya alumni Institute of Public Education di Victoria yang kemudian melanjutkan pendidikannya ke Maryland menekuni bidang pers dan jurnalistik. Mas Arya patut menjadi kebanggaan keluarga karena berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan predikat cumlaude. Sekarang ia benar-benar meraih impiannya menjadi seorang journalist di sebuah media ternama di Perth, Western Australia. Menurutku ia adalah seorang “Workaholic”. Dulu, aku pernah membaca satu kalimat tertulis di tembok kamarnya, “Not to occupy and not to exist are one and the same thing for a man.”
***

Kuperhatikan Bunda yang tengah menikmati sore bersama tiga kucing piaraannya. Kadang beliau mengelus, memangku, bahkan mendongeng, seakan-akan mereka memahami bahasa manusia. Aku mendekat lalu berdehem. Namun sepertinya Bunda terlalu menikmati suasana bersama kucing-kucing mungil itu, hingga kehadiranku sama sekali tak disadari. Akupun beranjak menuju ruang tamu.
Kuamati ruangan ini. Oh…ternyata debu jendela depan sangat tebal. Maklum Bik Minah, pembantu kami sedang pulang kampung. Mataku iseng mengamati kalender.

“Oh iya, Bunda kan ulang tahun tanggal 2 April. Berarti seminggu lagi Bunda ultah dong.” Tiba-tiba satu ide muncul dibenakku. “Ctekk..!!” Kujentikkan jari. Lalu menuju telfon di sudut ruang tamu.
“Assalamualaikum, Mbak inget kan kalo 2 April ini ultah Bunda? Nggak apa-apa deh Idul Fitri nggak pulang. Tapi waktu ultah Bunda, Mbak dateng ya? Bunda pasti seneng banget kalo Mbak Elvi dan Mas Arya bisa dateng.” rajukku.
“Mm…Mit, kebetulan minggu depan Mas Ishak ada tugas ke Semarang, jadi kemungkinan Mbak bisa sekalian ke Surabaya.” Aku hampir terlonjak saking girangnya, kemudian mencoba menghubungi Mas Arya, tapi gagal.
“Kok gak nyambung sih…” gumamku. Lalu ponselku berbunyi. Private number.
“Assalamualaikum, Mit. Aku udah dua hari ini di Pakistan untuk meliput berita convocation di IIUI.” paparnya. Pantesan waktu ditelfon tulalit terus.
“Mit, ngomong-ngomong Bunda baik-baik aja kan?” tanyanya.
“Baik aja…Mm..oh ya, Mas inget kan kalo 2 April ini ultah Bunda? Mitha pengen bikin kejutan nih. Mas usahain pulang ya, biar Bunda seneng. Nggak apa-apa deh Idul Fitri ini nggak bisa dateng. Tapi waktu Bunda ultah, dateng ya? Pliiizz..!!” rajukku.
"Mmm…bentar, aku lihat schedule dulu,” Kutunggu Mas Arya beberapa menit.
“Rencananya dua minggu lagi aku mau ke Indonesia untuk meliput sengketa Indonesia-Malaysia. Jadi, kemungkinan bisa dateng.” jawabnya. Mataku berbinar.
Segera kurancang rencana selanjutnya. Semoga kami dapat menikmati senyum Bunda lagi. Yah, setelah ayah meninggalkan kami untuk selamanya, Bunda terlihat jarang tersenyum. Amat jarang malah. Bahkan selalu terlihat murung. Hampir seluruh waktu dihabiskannya bersama tiga kucing mungil itu, seakan Bunda selalu ingin di dekat mereka. Bik Minah pernah menelfonku tengah malam hanya karena khawatir dengan keadaan Bunda yang sakit-sakitan karena mogok makan sebab salah satu kucingnya sakit. Tanpa kami sadari, kucing-kucing itu akan membawa satu masalah dalam keluarga kami.
***

Kutata seluruh ruangan serapi mungkin. Korden dan taplak mejapun kuganti dengan warna hijau muda, warna kesukaan Bunda. Setelah merapikan jilbab, kudengar suara ketukan pintu. Kupikir kedua kakakku. Tapi dugaanku meleset. Yang datang hanyalah kiriman hadiah. Tepat setelah kutanda tangani tanda terimanya, telfon berdering,
“Assalamualaikum. Dek, aku ada urusan mendadak. Jadi, nggak bisa dateng. Tapi tadi aku telfon rekanku disitu untuk mengirim hadiah buat Bunda. Maaf ya, Dek.”
Suara Mas Arya membuat lututku lemas seketika. Kututup gagang telfon dengan gelisah. Lagi-lagi telfon itu berdering. Kuangkat gagang telfon itu tanpa gairah.
“Assalamualaikum. Dek, tadi pagi Mbak mau berangkat kesana, tapi tiba-tiba dapet info kalo besok ada rapat penting di kampus. Jadi, Mbak langsung ke Jakarta untuk terbang ke Sulawesi lagi. Maaf ya, Dek.” Aku hampir menangis mendengar penjelasan Mbak Elvi. Ya Allah, mengapa semuanya terjadi di luar rencana?
Dari kamar Bunda, samar-samar kudengar suara merdu melantunkan kalamNya.
Bunda, maafkan Mitha yang belum berhasil mengembalikan senyum itu.

Kuhempaskan tubuhku di sofa, lemas kusandarkan punggung yang terasa pegal. Mataku bersirobok dengan foto mendiang ayah. Masih segar di ingatanku ketika kami menikmati indahnya senja di suatu sore sambil menikmati teh hangat buatan Bunda,
“Mit, Bunda kalian bagai telaga bening yang menyejukkan, yang selalu mengundang kita untuk duduk di tepinya, merenung dalam bayang air jernihnya, atau membasuh wajah menghilangkan resah, bahkan berenang di dalamnya karena lelah, meski telaga itu berkecipak karenanya, atau keruh…atau kotor…”
***

Bik Minah kembali dari kampung. Akupun bersiap-siap kembali ke Jakarta. Kuketuk pintu kamar Bunda. Tak ada jawaban. Pelan kubuka pintu, ternyata beliau sedang beristirahat. Tak jauh dari tempat tidurnya, kulihat tiga kucing mungil yang juga pulas di atas ranjang empuk. Jadi aku hanya menitip pesan lewat Bik Minah.
Namun, sampai di Jakarta, Bik Minah kembali menelfonku,
“Non Mitha, celaka, Non..celaka…!!” Suaranya terdengar panik.
“Ada apa, Bik?” tanyaku penasaran.
“Anu, Non. Tadi pagi kucing-kucing itu di tabrak mobil waktu bermain di jalan raya…Waduh…ya`opo iki…”suara Bik Minah terdengar panik.
“Terus Bunda gimana, Bik?” tanyaku khawatir.
“Lha itu dia, Non. Setelah melihat tiga kucingnya mati, Ndoro putri nangis ndak berhenti-berhenti, lalu pingsan. Terus, Ndoro selalu ngigo ndak karuan. Waktu sudah sadar, tatapannya kosong terus. Perkataan Bik Minah ndak pernah diperdulikan. Bahkan selalu mengulang-ulang kalimat yang sama. Katanya…” Kata-kata Bik Minah terpotong.
“Kalimat apa, Bik?” Tanyanyaku yang makin penasaran.
”Kata Ndoro putri ‘Elvi, Arya, Mitha jangan menyusul ayah kesana, jangan tinggalkan Bunda sendirian disini…’ begitu kalimatnya. Waduh…Bik Minah bingung mau ngapain. Non Mitha pulang ya, Non.” katanya masih dengan suara bergetar.
Segera aku berangkat ke Bandara untuk terbang menuju Juanda setelah meminta Bik Minah membawa Bunda ke rumah sakit. Jangan-jangan Bunda benar-benar menganggap tiga kucing itu sebagai Mbak Elvi, Mas Arya, dan aku?!
Bunda, mengapa senyum itu semakin menjauh? Mengapa ia terlalu sulit tuk dihadirkan kembali?
***

Bunda tengah terlelap ketika aku tiba. Dari wajah teduh yang kian menua itu, aku bisa melihat gurat kecewa, kesedihan, juga kerinduan mendalam disana. Kubuka diary, lalu perlahan kugoreskan penaku di lembaran-lembaran biru itu;
Bunda…
Senyum itu pergi lagi, semakin jauh, entah dimana ia bersembunyi
Andainya samudera atau rimbun hutan yang sembunyikan ia
Ingin Nanda selami samudera itu
Atau mengoyak ranting-ranting rimbun hutan itu
Meski tangan ini ikut terkoyak karenanya
Bunda…
Masih segar membekas di ingatan ini
Ketika kau ajari kami ‘alif, ba’, ta’ dengan kefashihan lisanmu
Agar kami dapat menyelami lautan hidayahNya
Atau ketika tangisan kami pecah, dirimu terbangun resah
Merelakan matamu tak terpejam demi menghalau gelisah kami
Pun ketika Nanda jatuh dari peraduan dan merengek
Kau raih Nanda ke pelukan kasihmu, seraya meneteskan airmata
Seakan kaulah yang tengah merasakan sakitnya raga
Namun...
Ketika kami beranjak dewasa, dan kau tengah di usia senja
Kaki-kaki mungil kami dulu, kini tak dapat kau elus lagi
Tangan-tangan mungil kami juga tak dapat lagi kau sentuh
Kami sibuk mengejar asa sendiri, larut dalam ego
Tak sadar bahwa ada telaga bening yang tengah merindu
Yang ingin meredam resah, menghilangkan gelegak duka
Telaga bening itu adalah engkau, Bunda
Kini…
Izinkan Nanda mencari kekuatan mahadaya
Agar mampu mempersembahkan senyum untukmu, Bunda…

Kututup diaryku perlahan. Kutahan mataku yang berkaca-kaca. Tapi tiba-tiba,
“Elvi, Arya, Mitha jangan menyusul ayah kesana, jangan tinggalkan Bunda….” igau Bunda. Mengulang kalimat itu berkali-kali. Aku panik. Segera kupanggil suster.
Setelah keadaan Bunda mulai membaik, kudekati beliau yang tengah menatap jendela. Tatapannya kosong.
“Bunda, ini Mitha…” bisikku. Tak ada respon. “Bunda, ini Mitha, puteri Bunda.” Ulangku. Ia menangis sesenggukan, tapi tangis itu makin kencang, bahkan meraung…
“Tidak…Mitha juga ditabrak mobil itu bersama Elvi dan Arya… huu… huu.. anak-anak Bunda menyusul ayahnya…huu…” Raungan bunda membuatku kaget. Akhirnya tangisku pun pecah.
“Tidak, Bunda… yang mati itu hanya kucing…bukan anak-anak Bunda…hanya kucing, Bunda.” Aku harus berhasil meyakinkan Bunda. Namun Bunda tetap meraung. Hatiku semakin galau, seiring airmataku yang semakin deras.
“Bunda, ini Mitha, putri Bunda. Kucing-kucing itu cuma hewan. Bunda masih ingat kan waktu dulu Mitha mecahin kaca tetangga, Bunda marah dan ngurung Mitha dalam kamar. Terus, waktu Mitha sakit typus, Bunda seharian nemenin Mitha di kamar, gendongin Mitha setiap ke kamar mandi, nyuapin Mitha setiap makan…masih ingat kan, Bunda…ini Mitha, anak Bunda.” celotehku sambil terus menangis. Tangis Bunda mereda lalu terdiam. Kubiarkan Bunda menenangkan diri. Lama, hingga akhirnya beliau terlelap.

Kutatap mata Bunda lekat. Aku harus berhasil meyakinkan Bunda bahwa aku, Mbak Elvi dan Mas Arya-lah darah dagingnya, bukan kucing-kucing itu. Aku tidak akan membiarkan tiga hewan itu menggantikan tempat kami di singgasana hati Bunda.
Pun aku harus meyakinkan kedua kakakku bahwa Bunda butuh mereka disini saat ini. Juga bahwa hadiah-hadiah yang selalu mereka yakini dapat membahagiakannya, takkan pernah mampu menggantikan kehadiran mereka disisi Bunda. Bagi Bunda mereka terlampau berharga tuk digantikan dengan kebendaan, karena putra putrinya adalah anugerah terindah yang tak terbeli, yang merupakan karunia tebesar dariNya.

Bunda masih terlelap ketika Mbak Elvi dan Mas Arya datang. Mataku berbinar saat melihat Bunda membuka mata bersama kami sampingnya. Seketika itu, kami serentak memeluk wanita terkasih itu…Kini kami disini untuk Bunda…(Nie)
(Persembahan tuk Bunda-ku. Miss U so Much, Mom)

*Tulisan ini menjadi juara II lomba FCPI Awards 2005 dan dimuat oleh Buletin NUN, yang diterbitkan oleh Dept. Media & Informasi PPMI Pakistan, tahun 2005

0 komentar:

Posting Komentar