Memaknai Fitrah di Hari yang Fitri

Moment lebaran adalah moment yang membahagiakan dan sangat ditunggu-tunggu oleh setiap orang. Berbeda kalangan, maka berbeda pula alasan kebahagiaan mereka dalam menyambut hari raya yang satu ini. Bagi orang-orang yang tidak suka puasa, moment ini berarti saatnya menyantap hidangan ketupat dan beraneka ragam kue. Bagi yang tidak suka shalat malam, moment ini berarti kebebasan dari kegiatan berdiri berlama-lama mendengarkan bacaan imam sambil ngantuk-ngantukan. Bagi pedagang mainan anak-anak, moment ini berarti meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Bagi yang jarang pulang kampung, moment ini berarti mudik dan kumpul keluarga. Dan begitulah seterusnya, setiap orang, memiliki kesan tersendiri terhadap hari Idul Fitri. Tapi manakah yang benar?

Ketika mendengar kata ‘Fitrah’ yang langsung terbayang dalam benak fikiran kita adalah kata suci. Kata ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kata suci. Karena secara bahasa, fitrah (fithrah) berasal dari kata fathara–yafthuru–fathr[an] wa futhr[an] wa fithrat[an] yang berarti pecah, belah, terbuka dan mencipta. Namun kata al-fithr artinya ciptaan. Dari kata ciptaan ini lah dapat disimpulkan kata suci. Karena pada awal penciptaannya, manusia adalah makhluk yang bebas dari dosa dan kesalahan. Hal ini sebagaimana terkandung dalam sebuah hadits Nabi:

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad, Malik).

Ringkasnya, Idul Fitri berarti kembali kepada kesucian, yaitu kondisi ketika manusia pertama kali dilahirkan. Tidak membawa dosa dan kesalahan. Makna Idul Fitri semacam ini hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan kepada Allah seraya mengintrospeksi dirinya. Karena Allah swt menjanjikan pengampunan dosa bagi mereka. Rasulallah pernah bersabda:

“Barang siapa yang menjalankan ibadah puasa dengan penuh keimanan seraya mengintrospeksi dirinya maka Allah akan memaafkan dosanya yang telah lalu.”

Lalu apakah makna idul fitri ini hanya sebatas kembalinya kita dalam kondisi bebas dari dosa,? Jika kita memahami fitrah hanya sebatas pada kesucian diri dari dosa, maka pada bulan-bulan yang lain, tidak ada jaminan kita terbebas dari dosa, karena kondisi seperti ini hanya akan menjadi garis start yang aman untuk mengejar dosa-dosa yang baru.

Jika kita melihat lebih dalam terhadap kata fitrah, kata ini berarti kondisi manusia yang selalu cenderung pada kebaikan. Salah satu buktinya, jika seseorang ditanya, apakah anda ingin masuk surga atau neraka? Jawabannya tentu surga. Apakah anda ingin baik atau jahat? Pasti jawabannya ingin baik. Begitu juga dengan hal-hal yang berbau duniawi. Apakah anda ingin kaya atau miskin? Pasti ingin kaya. Pintar atau bodoh? Pasti ingin pintar dan seterusnya.

Inilah sebagian dari makna fitrah. Manusia suka dan cenderung kepada kebaikan. Yang menjadi pertanyaannya, apakah kita sudah maksimal untuk meraih makna fitrah tersebut? Apakah kita sudah maksimal untuk meraih surga Allah? Apakah kita sudah maksimal untuk menjadi baik, menjadi kaya dan pintar? Atau hanya sekedar mau tapi tanpa usaha?

Kenyataan yang sering terjadi, kita ingin masuk surga, namun malas beribadah, malas sedekah, malas puasa, dan gemar melakukan dosa. Kita ingin menjadi baik, namun akhlak kita kasar, omongan kita menyakitkan, tindakan kita sering melukai, sama tetangga tidak pernah akur, sesama rekan bisnis saling menjatuhkan. Kita ingin kaya, namun malas usaha, segan bersilaturahmi dan menjalin relasi, takut gagal, ngak pede. Kita ingin pintar, tapi malas membaca, ga punya catatan, apalagi mau ke perpustakaan.

Allah swt telah menitipkan kepada kita semua makna fitrah tersebut. Semua kembali kepada diri pribadi untuk meraihnya. Di balik itu semua, harus ada usaha. Dan di balik itu juga ada kemenangan yang dijanjikan Allah, 'minal a'idin wal fa izin'. Semoga kita semua menjadi hamba-hamba Allah yang selalu mendengarkan bisikan fitrah, dan selalu berusaha untuk meraihnya.

“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS ar-Rum: 30).

0 komentar:

Posting Komentar