Asma’ (nama-nama) dan Sifat-sifat Allah SWT
Dari tiga macam pembagian tauhid yang dirumuskan oleh para ulama yang diambil dari dalil-dalil yang benar adalah tauhid Asma’ dan Sifat. Dalam memahami tauhid ini tidak sedikit kelompok-kelompok atau firqoh-firqoh islamiyah yang salah dalam memahaminya sehingga menimbulkan kesesatan. Maka pada bab ini kita akan membahas dengan ringkas tentang permasalahan yang berkaitan dengan dasar-dasar dalam memahami Asma’ dan Sifat-sifat Allah SWT.
1. Manhaj (metode) yang benar dalam memahami Nama-nama dan Sifat-sifat Allah SWT.
Agar seorang mukmin terhindar dari kesalahan yang dialami oleh beberapa firqoh islamiyah dalam memahami tauhid asma’ dan sifat, maka setiap individu wajib untuk mengikuti cara yang digunakan oleh para salaf atau orang-orang yang terdahulu dari umat ini dalam memahami asma-dan sifat Allah. Di antara cara atau metode yang meraka gunakan adalah:
a. Tidak melakukan penyimpangan (عدم التحريف)
At Tahriif (penyimpangan) secara etimologi memiliki arti At Tabdiil (التبديل),menggantikan dan At Taghyiir (التغيير),merubah. Secara istilah At Tahriif berarti merobah lafaz Nama-nama Allah yang Indah dan Sifat-sifatNya yang tinggi atau merobah makna-maknanya.
At Tahriif dapat dibagi menjadi dua:
Pertama: Tahriif Al Lafzi (تحريف اللفظ) yaitu dengan menambahkan dan mengurangi atau merobah syakal (harokat) lafaz. Seperti perkataan kelompok Jahmiyyah dalam masalah istiwa’ (استواء) yang mengartikannya dengan istawla (استولى). Begitu juga dengan perkataan orang-orang yang membuat-buat sesuatu yang mengada-ada dalam agama, dengan memberikan harakat nasb (fathah) pada lafazl Al jalaalah (nama Allah) dalam firmanNya: (وكلم الله موسى تكليما). Ada juga yang memberikan harokat kasroh pada lafaz ‘ربك’ pada ayat: (وجاء ربك والملك صفا صفا) dengan mentakdirkan kata amrun (أمر) sebelumnya sehingga maknanya berubah menjadi (وجاء أمر ربك) artinya dan telah datang perintah Tuhanmu.
Kedua: Tahriif Al Ma’na (تحريف المعنى) yaitu dengan membiarkan lafaz nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana bentuk aslinya seperti yang ada di dalam Al Qur’an dan Sunnah tetapi yang dirobah hanyalah maknanya. Seperti penafsiran beberapa golongan ahli bid’ah terhadap lafaz Al Ghodob (الغضب), marah, ditafsirkan sebagai (إرادة الانتقام), kehendak untuk membalas dendam. Lafaz Ar Rohmah (الرحمة) kasih saying, ditafsirkan sebagai (إرادة الإنعام), kehendak untuk memberikan kenikmatan. Lafaz Al Yad (اليد), tangan, ditafsirkan sebagai (االنعمة) kenikmatan dan (القدرة), kemampuan.
b. Tidak mentelantarkan (عدم التعطيل)
At Ta’tiil (التعطيل), mentelantarkan, berasal dari kata Al ‘atol (العطل), menganggur, yang berarti Al Khulu (الخلو), sepi, Al Faraagh (الفراغ), kosong, dan At Tark (الترك), meninggalkan. Sedangkan arti At Ta’tiil secara terminologi/ istilah adalah meniadakan sifat-sifat ketuhanan dan merampasnya dari Allah.
Perbedaan antara At Ta’tiil dengan At Tahriif adalah; bahwa At Ta’tiil merupakan bentuk tindakan menghilangkan makna yang benar yang telah disampaikan di dalam Al Qur’an dan sunnah sedangkan At Tahriif merupakan tindakan penafsirkan nas-nas atau dalil-dalil yang berkaitan dengan Asma’ dan Sifat-sifat Allah dengan makna yang salah.
c. Tidak melakukan kondisioning/ penyesuaian (عدم التكييف)
Penyesuaian yang dimaksud adalah menentukan bentuk sifat. seperti kalimat kayyafa As Syai’a (كيف الشيء) artinya memberikan bentuk yang dapat dimengerti kepada suatu benda. Dan ada juga yang mengatakan artinya adalah menanyakan dengan kata ‘bagaimana’.
d. Tidak melakukan permisalan (عدم التمثيل)
Permisalan artinya penyerupaan. Permisalan ini terbagi menjadi dua:
Pertama: Menyerupakan makhluq dengan kholiq. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al Masih bin Maryam (Nabi Isa AS) dengan Allah, orang-orang Yahudi yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah dan orang-orang musyrik yang menyamakan berhala-berhala mereka dengan Allah.
Kedua: Menyerupakan Kholiq dengan makhluq. Seperti orang yang berkata, “bahwa wajah Allah seperti wajah makhluqNya, tanganNya seperti tangan makhluq” dan lain sebagainya.
Dari tiga macam pembagian tauhid yang dirumuskan oleh para ulama yang diambil dari dalil-dalil yang benar adalah tauhid Asma’ dan Sifat. Dalam memahami tauhid ini tidak sedikit kelompok-kelompok atau firqoh-firqoh islamiyah yang salah dalam memahaminya sehingga menimbulkan kesesatan. Maka pada bab ini kita akan membahas dengan ringkas tentang permasalahan yang berkaitan dengan dasar-dasar dalam memahami Asma’ dan Sifat-sifat Allah SWT.
1. Manhaj (metode) yang benar dalam memahami Nama-nama dan Sifat-sifat Allah SWT.
Agar seorang mukmin terhindar dari kesalahan yang dialami oleh beberapa firqoh islamiyah dalam memahami tauhid asma’ dan sifat, maka setiap individu wajib untuk mengikuti cara yang digunakan oleh para salaf atau orang-orang yang terdahulu dari umat ini dalam memahami asma-dan sifat Allah. Di antara cara atau metode yang meraka gunakan adalah:
a. Tidak melakukan penyimpangan (عدم التحريف)
At Tahriif (penyimpangan) secara etimologi memiliki arti At Tabdiil (التبديل),menggantikan dan At Taghyiir (التغيير),merubah. Secara istilah At Tahriif berarti merobah lafaz Nama-nama Allah yang Indah dan Sifat-sifatNya yang tinggi atau merobah makna-maknanya.
At Tahriif dapat dibagi menjadi dua:
Pertama: Tahriif Al Lafzi (تحريف اللفظ) yaitu dengan menambahkan dan mengurangi atau merobah syakal (harokat) lafaz. Seperti perkataan kelompok Jahmiyyah dalam masalah istiwa’ (استواء) yang mengartikannya dengan istawla (استولى). Begitu juga dengan perkataan orang-orang yang membuat-buat sesuatu yang mengada-ada dalam agama, dengan memberikan harakat nasb (fathah) pada lafazl Al jalaalah (nama Allah) dalam firmanNya: (وكلم الله موسى تكليما). Ada juga yang memberikan harokat kasroh pada lafaz ‘ربك’ pada ayat: (وجاء ربك والملك صفا صفا) dengan mentakdirkan kata amrun (أمر) sebelumnya sehingga maknanya berubah menjadi (وجاء أمر ربك) artinya dan telah datang perintah Tuhanmu.
Kedua: Tahriif Al Ma’na (تحريف المعنى) yaitu dengan membiarkan lafaz nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana bentuk aslinya seperti yang ada di dalam Al Qur’an dan Sunnah tetapi yang dirobah hanyalah maknanya. Seperti penafsiran beberapa golongan ahli bid’ah terhadap lafaz Al Ghodob (الغضب), marah, ditafsirkan sebagai (إرادة الانتقام), kehendak untuk membalas dendam. Lafaz Ar Rohmah (الرحمة) kasih saying, ditafsirkan sebagai (إرادة الإنعام), kehendak untuk memberikan kenikmatan. Lafaz Al Yad (اليد), tangan, ditafsirkan sebagai (االنعمة) kenikmatan dan (القدرة), kemampuan.
b. Tidak mentelantarkan (عدم التعطيل)
At Ta’tiil (التعطيل), mentelantarkan, berasal dari kata Al ‘atol (العطل), menganggur, yang berarti Al Khulu (الخلو), sepi, Al Faraagh (الفراغ), kosong, dan At Tark (الترك), meninggalkan. Sedangkan arti At Ta’tiil secara terminologi/ istilah adalah meniadakan sifat-sifat ketuhanan dan merampasnya dari Allah.
Perbedaan antara At Ta’tiil dengan At Tahriif adalah; bahwa At Ta’tiil merupakan bentuk tindakan menghilangkan makna yang benar yang telah disampaikan di dalam Al Qur’an dan sunnah sedangkan At Tahriif merupakan tindakan penafsirkan nas-nas atau dalil-dalil yang berkaitan dengan Asma’ dan Sifat-sifat Allah dengan makna yang salah.
c. Tidak melakukan kondisioning/ penyesuaian (عدم التكييف)
Penyesuaian yang dimaksud adalah menentukan bentuk sifat. seperti kalimat kayyafa As Syai’a (كيف الشيء) artinya memberikan bentuk yang dapat dimengerti kepada suatu benda. Dan ada juga yang mengatakan artinya adalah menanyakan dengan kata ‘bagaimana’.
d. Tidak melakukan permisalan (عدم التمثيل)
Permisalan artinya penyerupaan. Permisalan ini terbagi menjadi dua:
Pertama: Menyerupakan makhluq dengan kholiq. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al Masih bin Maryam (Nabi Isa AS) dengan Allah, orang-orang Yahudi yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah dan orang-orang musyrik yang menyamakan berhala-berhala mereka dengan Allah.
Kedua: Menyerupakan Kholiq dengan makhluq. Seperti orang yang berkata, “bahwa wajah Allah seperti wajah makhluqNya, tanganNya seperti tangan makhluq” dan lain sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar