Pada
dasarnya pemberian hadiah merupakan suatu hal yang diperbolehkan dalam
Islam. Bahkan Islam mengatakan bahwa dengan saling memberikan hadiah
akan tercipta rasa kasih sayang di antara mereka. Tentunya pemberian
hadiah yang dapat memupuk rasa kasih sayang itu merupakan pemberian
hadiah yang muncul dari hati nurani yang tulus dan ikhlas, hanya
semata-mata mengharapkan ridho dari Allah swt.
Namun
dalam perkembangannya dan realitas yang terjadi, hadiah terkadang
menjadi alat untuk tujuan-tujuan tertentu, sebagai media pendekatan
untuk mendapatkan keuntungan dan keselamatan. Di antara bentuk hadiah
yang dimaksudkan adalah hadiah yang diberikan kepada pegawai abdi
negara.
Dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
tindakan semacam ini diistilahkan dengan Gratifikasi, yaitu uang hadiah
yang diberikan kepada pegawai abdi negara di luar gaji yang yang telah
ditentukan. Lebih lanjut, dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1)
gratifikasi diartikan sebagai bentuk pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Dalam
hukum negara, sangat jelas bahwa tindakan gratifikasi ini merupakan
sebuah tindak pidana korupsi yang akan dikenakan hukuman negara.
Islam
dengan ajarannya yang syamil sejak dini telah melarang bahkan
mengharamkan tindakan seperti itu dan bagi pelakunya tidak hanya
dikenakan hukum dunia bahkan jika tidak bertobat diancam dengan hukuman
yang sangat pedih di akhirat. Dalam hadist Abu Humaid as-Sa’idi
diceritakan :
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah ? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali. “
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah ? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali. “
Berkata Ibnu Abdul Barr : “ Hadist di atas menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang curian dari harta rampasan perang ) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu “
Imam al-Baghawi dalam kitab Syarhu as-Sunnah, menjelaskan bahwa hadist Abu Humaid as-Sa’idi di atas menunjukkan bahwa hadiah pegawai, pejabat, dan para hakim adalah haram. Hal itu karena pemberian kepada pegawai (zakat ) tersebut, dimaksudkan agar dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang mestinya menjadi kewajiban sang pemberi, dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia cenderungan kepadanya ketika dalam persidangan.
Yang termasuk dalam larangan hadist di atas :
Pelajaran
yang terkandung dalam hadits tersebut tidak hanya berlaku bagi seorang
pengumpul zakat yang notabenenya diangkat sebagai abdi negara dalam
bidang mengumpulkan zakat, hadits ini juga berlaku bagi
tindakan-tindakan gratifikasi lainnya baik yang berada dalam lingkuangan
pemerintahan sendiri maupun yang terdapat di dalam elemen-elemen
masyarakat.
Seperti
seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki
saluran atau kabel telepon yang terputus atau mengalami gangguan. Dia
tidak boleh menerima atau meminta upah tambahan atas pekerjaan yang dia
lakukan dari para pelanggan, karena sudah mendapatkan gaji bulanan dari
perusahaannya. Jika ia menghambil atau meminta upah lagi maka upah
tersebut adalah uang yang diharamkan baginya.
Contoh lain, seperti seorang
pegawai Departemen Agama yang ditugaskan untuk mengurusi penyewaan
tempat tinggal atau asrama jama’ah haji selama di Makkah dan Madinah. Dia
tidak boleh menyewa tempat tinggal yang lebih murah, dengan tujuan akan
mendapatkan uang discount dari penyewaan tersebut yang akan masuk ke
kantong pribadinya. Seorang
pengurus masjid yang ditugaskan untuk membeli kambing kurban dalam
jumlah yang banyak pada hari Raya Idul Adha, dia tidak boleh mengambil
uang discount dari pembelian tersebut, kecuali harus melaporkan kepada
pengurus secara transparan. Seorang
hakim tidak boleh menerima hadiah dari orang yang masalahnya sedang dia
tangani, karena hal itu akan mempengaruhi di dalam keputusan hukum. Seorang
petugas pajak, tidak boleh menerima hadiah dari para pembayar pajak,
karena hal itu akan menyebabkannya tidak disiplin di dalam menjalankan
tugasnya, dan tidak terlalu ketat di dalam menghitung kewajiban
pembayar, karena sudah mendapatkan hadiah darinya. Dan masih banyak lagi contoh lainnya dalam masyarakat.
Tindakan
gratifikasi di atas tentunya tidak diharamkan kecuali dibalik itu ada
dampak negatif yang akan ditimbulkan, banyak kerugian yang akan
dirasakan khususnya bagi masyarakat kecil. Jika kita teliti lebih dalam,
tindakan gratifikasi dapat merusak kinerja para pegawai abdi negara,
karena dia akan cenderung untuk mendahulukan orang-orang yang memberikan
uang lebih kepadanya dan membiarkan orang yang tidak memberikan uang
dalam kondisi kesulitan. Dampak lebih jauh dari itu, akan terjadi banyak
sekali kekacauan, baik dalam bidang politik, hukum, perekonomian dan
lain-lain. Politik akan berjalan dengan cara yang culas, siapa yang
bayar lebih tinggi akan menduduki tampuk pimpinan. Hukum akan menjelma
menjadi hukum rimba, yang kuat bayar lebih banyak akan muncul sebagai
pemenang hukum. Perekonomian akhirnya akan menjadi carut-marut, barang
yang tidak berkualitas dijual dengan harga normal. Tabung gas 4 liter
tersebar di masyarakat hanya berisi 1 atau 2 liter. Minyak bersubsidi
dijadikan ajang untuk mencari keuntungan. Hal ini terjadi karena
pengawas lapangan atau pihak-pihak yang terkait dengan masalah
distribusi tidak mengambil tindakan tegas. Tidak adanya tindakan tegas
tersebut diakibatkan karena mereka menerima keuntungan atau gratifikasi
dari pihak-pihak perusahaan yang mencari keuntungan dengan cara-cara
yang tidak halal.
Mungkin
cerita tentang sahabat rasulallah di bawah ini akan lebih memberikan
kesadaran kepada kita akan bahaya dan ancaman yang akan kita dapatkan
jika kita melakukan gratifikasi. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu
‘alai wassalam mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, kemudian pada
pemerintahaan Abu Bakar , beliau mengirim Umar pada musim haji ke
Mekkah. Ketika sedang di Arafah Umar bertemu dengan Muadz bin Jabal yang
datang dari Yaman membawa budak-budak.
Umar bertanya kepadanya: “Itu budak-budak milik siapa ? “ Muadz menjawab : “ Sebagian milik Abu Bakar dan sebagian lagi milikku “. Umar berkata : “ Sebaiknya kamu serahkan semua budak itu kepada Abu Bakar, setelah itu jika beliau memberikan kepadamu, maka itu hakmu, tetapi jika beliau mengambilnya semuanya, maka itu adalah hak beliau ( sebagai pemimpin ).” Muadz berkata : “ Kenapa saya hartus menyerahkan semuanya kepada Abu Bakar, saya tidak akan memberikan hadiah yang diberikan kepadaku.“
Kemudian Muadz pergi ke tempat tinggalnya. Pada pagi hari Muadz ketemu lagi dengan Umar dan mengatakan: "Wahai Umar tadi malam aku bermimpi mau masuk neraka, tiba-tiba kamu datang untuk menyelematkan diriku, makanya sekarang saya taat kepadamu. “ Kemudian Muadz pergi ke Abu Bakar dan berkata : “ Sebagian budak adalah milikmu dan sebagian lain adalah hadiah untukku, tapi saya serahkan kepadamu semuanya.” Kemudian Abu Bakar mengatakan : “ Adapun budak-budak yang dihadiahkan kepadamu, saya kembalikan kepadamu.”
Umar bertanya kepadanya: “Itu budak-budak milik siapa ? “ Muadz menjawab : “ Sebagian milik Abu Bakar dan sebagian lagi milikku “. Umar berkata : “ Sebaiknya kamu serahkan semua budak itu kepada Abu Bakar, setelah itu jika beliau memberikan kepadamu, maka itu hakmu, tetapi jika beliau mengambilnya semuanya, maka itu adalah hak beliau ( sebagai pemimpin ).” Muadz berkata : “ Kenapa saya hartus menyerahkan semuanya kepada Abu Bakar, saya tidak akan memberikan hadiah yang diberikan kepadaku.“
Kemudian Muadz pergi ke tempat tinggalnya. Pada pagi hari Muadz ketemu lagi dengan Umar dan mengatakan: "Wahai Umar tadi malam aku bermimpi mau masuk neraka, tiba-tiba kamu datang untuk menyelematkan diriku, makanya sekarang saya taat kepadamu. “ Kemudian Muadz pergi ke Abu Bakar dan berkata : “ Sebagian budak adalah milikmu dan sebagian lain adalah hadiah untukku, tapi saya serahkan kepadamu semuanya.” Kemudian Abu Bakar mengatakan : “ Adapun budak-budak yang dihadiahkan kepadamu, saya kembalikan kepadamu.”
Atsar di atas menunjukan bahwa jika seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Kemudian apakah lembaga tersebut akan mengijinkannya untuk mengambil hadiah itu atau memintanya untuk kepentingan lembaga, maka ini diserahkan kepada aturan dalam lembaga tersebut.
Penulis:
Herman. HS, S.Pd.I, Lc
0 komentar:
Posting Komentar